MATEMATIKA PERTANIAN

Di salah satu desa subur di Bojonegoro - Jawa Timur, kala sang surya baru menampakkan raut muka. Pak budi dan ubaid sedang jalan-jalan menyusuri persawahan. Pak budi mulai pembicaraanya   rata-rata Dengan cara bertani konvensional, pendapatan petani memang tidak menarik. Tetapi petani bukan tanpa harapan, ada peluang besar menanti mereka. Yang disebut bertani konvensional adalah bertani seperti yang dilakukan oleh para petani sekarang. Sekali menanam, panen sekali dan untuk ini diperlukan tenaga kerja yang intensif, biaya benih, pupuk dan obat-obatan. Akibatnya tanah menjadi seperti orang yang kecanduan, bila tidak diberi pupuk produksi langsung turun – tetapi bila terus diberi pupuk – kualitas tanah juga terus menurun secara gradual, dan dalam jangka panjang produktifitas lahan juga pasti turun.
Bila petani Indonesia rata-rata memiliki lahan 0.25 hektar, maka di daerah yang paling subur sekalipun mereka biasanya hanya akan panen padi tiga kali. Katakanlah masing-masingnya 6 ton/hektar petani dengan 0.25 ha lahan hanya akan mendapatkan 1.5 ton gabah sekali panen. Dengan harga gabah sekarang dikisaran Rp 5,000/kg; petani hanya memperoleh hasil penjualan gabahnya Rp 7.5 juta per panen. Tiga kali panen berarti mendapatkan Rp 22.5 juta.
Tetapi ingat bahwa Rp 22.5 juta ini adalah penjualan kotor, setelah dipotong biaya tenaga kerja, bibit, pupuk dan obat-obatan katakanlah 50 %-nya, maka petani dengan luas lahan 0.25 hektar yang subur hanya akan mendapatkan pendapatan bersih Rp 11.25 juta setahun (tiga kali panen) atau Rp 937,500,- bila dirata-rata bulanan.
Lau jika dibandingkan dengan Gaji pegawai negeri terendah-pun kini Rp 1,323,000 per bulan (golongan 1 A dengan masa kerja nol tahun), jauh lebih tinggi dari petani rata-rata yang memiliki lahan 0.25 hektar. Maka tidak mengherankan bila para petani hingga kini menjual lahannya untuk membiayai anaknya masuk menjadi pegawai negeri dlsb.
Bila arus ini dibiarkan terus menerus, maka akan semakin banyak lahan-lahan petani yang jatuh ke tangan orang kaya hanya untuk sekedar klangenan (hiburan), mereka tidak antusias mengolahnya dan malah lebih sering hanya sebagai investasi belaka. Ketahanan pangan nasional akan terancam bila praktek demikian dibiarkan.
Lantas apa solusinya, pak?, kata ubaid kepada pak Budi.
setidaknya  dua solusi yang kami padukan dari multi disiplin dan masing-masing keahlian telah memulai mencobanya di lapangan
Pertama, adalah Go Organic – ini yang sudah dicoba oleh team kami di Jawa-Timur dengan hasil yang sangat baik. Bertani organic tidak harus mahal, justru sebaliknya bisa menjadi murah karena tidak ada pupuk dan obat-obatan kimia yang perlu dibeli mahal, cukup membuat sendiri dengan komponen microba yang sangat murah.
Menurut hitungan team kami bahkan setelah sekitar 15 kali panen (5 tahun), pupuk-pupuk organic-pun tidak diperlukan sama sekali. Tanah sudah kembali subur alami kembali ke pra PD II sebelum pupuk kimia dikenal.
Kedua, melengkapi pojok-pojok sawah petani dengan tanaman jangka panjang yang diambil buahnya. Ide kami adalah bisa kurma, zaitun, anggur atau kombinasi diantaranya. Petani hanya perlu menanam sekali tetapi akan terus memetik hasilnya sampai anak turunan mereka.
Dengan dua langkah ini saja matematika petani sudah akan jauh berubah. Dengan hasil yang dua kali lipat dan biaya yang separuh dari sebelumnya, maka bertani sudah bisa kembali menarik.
Hasil dua kali lipat ini ditunjukkan oleh beberapa kali panen padi organik kami di Boyolali yang berada di sekitar angka 12 ton/hektar atau 3 ton untuk tanah 0.25 hektar. Penjualan kotor padi petani menjadi 3x3,000xRp 5,000 = Rp 45,000,000. Setelah dipotong biaya tenaga kerja dan pupuk organik Rp 11,250,000, petani dengan 0.25 ha lahan akan memiliki penghasilan bersih Rp 33.75 juta setahun atau rata-rata Rp 2,812,500 sebulan.
Dengan angka ini saja bertani sudah bisa kembali lebih menarik ketimbang memaksakan diri menjual sawah untuk biaya anak masuk menjadi pegawai. Hasil bertani akan semakin menarik, manakala pohon-pohon jangka panjang yang ditanam tersebut mulai berbuah beberapa tahun kemudian.

Dari sinilah kami melihat masa depan cerah bagi petani bisa kembali kita visikan. Bila masa depan petani cerah, maka ketahanan pangan nasional-pun insyaAllah akan aman. Mudahkah ini? Tentu tidak, semuanya membutuhkan kerja keras yang memerlukan kesabaran. Tetapi semua itu mungkin dilakukan karena memang sudah dicoba. Lebih dari ikhtiar yang bersifat fisik, masyarakat juga perlu diajak untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaannya secara terus menerus. Hanya dengan iman dan takwa inilah negeri ini akan memperoleh keberkahanNya, dan di negeri yang diberkahi, hasil panenan itu banyak dan enak (QS 2:58). InsyaAllah ada jalan, “There is A will there is a way”.
Readmore → MATEMATIKA PERTANIAN

Penguatan Diversifikasi Pangan Berbasis Kearifan Lokal


Seiring dengan tingginya tingkat konsumsi dan ketergantungan akan beras sebagai bahan pangan pokok di masyarakat, pencarian alternatif bahan pangan lain selain beras yang memiliki asupan gizi setara dan seimbang menjadi semakin diperlukan. Tidak terkendalinya harga pangan lokal dan membanjirnya pangan impor menimbulkan permasalahan sosial sendiri bagi ketahanan pangan nasional. Sebagai negara agraria Indonesia seharusnya memiliki kemampuan pertahanan pangan yang baik. Namun, hal itu sirna sejak Orde Baru melakukan penyeragaman pangan nasional. Kemudian berimbas pada Hampir punahnya kearifan lokal pangan nasional tidak terlepas dari peran pemerintah Orde Baru. Penyeragaman pangan menjadi program nasional yang diterapkan diseluruh wilayah nusantara. Hal ini berdampak pada perubahan pola konsumsi masyarakat Indonesia. Akibatnya, keterbiasaan mengonsumsi aneka pangan seperti singkong, jagung, sagu, ubi jalar, dan talas, hilang yang kemudian digantikan oleh beras sebagai bahan pangan utama. Ketergantungan pangan pada satu jenis (homogeny) dan membanjirnya pangan impor menjadikan Indonesia tamu di negeri sendiri.
 Hal ini seolah menjadi kebiasaan masyarakat yang sudah tertanam sejak puluhan tahun. Akibatnya kegagalan panen akibat perubahan iklim menjadikan krisis pangan kian nyata. Maka, penguatan kearifan lokal pangan nasional menjadi penting ditengah ketidakstabilan harga pangan lokal.
Untuk mensosialisasikan hal tersebut, Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian RI, Kamis (19 September 2013) pagi, menyelenggarakan Diskusi Percepatan Diversifikasi Pangan Melalui Strategi Ganda: Peningkatan Konsumsi dan Penguatan Bisnis Kuliner Pangan Lokal.
Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementrian Pertanian RI, Achmad Suryana, saat menjadi pembicara dalam diskusi tersebut menjelaskan, untuk mengurangi ketergantungan masyarakat indonesia terhadap konsumsi beras, serta untuk mengantisipasi semakin berkurangnya lahan pertanian, maka setiap pemerintah daerah perlu menggalakan diversifikasi atau penganekaragaman jenis pangan. Selain mengurangi ketergantungan akan beras, diversifikasi pangan seperti olahan dari sagu, singkong dan jagung juga dapat meningkatkan perekonomian bagi masyarakat lokal.
Kita harus optimis gerakan diversifikasi pangan di Indonesia mampu berjalan dengan baik, karena tidak semua daerah di wilayah Indonesia cocok untuk ditanami padi. Untuk itu pihaknya menghimbau agar pemerintah daerah turut serta dalam mensosialisasikan program tersebut kepada masyarakat. 
            Kejadian melambungnya harga daging sapi dan bawang menunjukkan ketahanan pangan nasional sangat rentan. Padahal dengan segala kekayaan alam yang miliki Indonesia seharusnya mampu menciptakan ketahanan pangan nasional. Untuk itu, pemerintah perlu membuat kebijakan strategis nasional untuk mengamankan pasokan pangan nasional. Penguatan pangan berbasis kearifan lokal perlu menjadi program nasional dengan mengedepankan pada diversifkasi pangan. Konsep diversifikasi pangan bukan merupakan hal yang baru, namun perlu kembali dibudayakan untuk mengantisipasi gejolak harga dan ketergantungan pada pangan impor.
            Williem, L., dkk (2011) dalam penelitiannya yang berjudul Pola SpesialisasiPerdagangan Indonesia dengan Jepang dan Cina, menunjukkan bahwa Indonesia memiliki keunggulan komparatif terhadap Jepang dan Cina masih berbasis bahan-bahan mentah dan berbasis sumber daya alam. Artinya, Indonesia masih memiliki potensi untuk mengembangkan ketahanan pangan nasional berbasis kearifan lokal. Untuk mengembalikan kejayaan pangan nasional pemerintah perlu berbenah diri dengan kembali melakukan penganekaragaman pangan. Diversifikasipangan nasional perlu segera dilakukan tanpa mengabaikan program swasembada pangan.
Secara perlahan masyarakat perlu Indonesia diajak kembali menerapkan pola pangan zaman sebelum orde baru. Dimana masyarakat Sulawesi, Maluku, dan Papua kembali mengandalkan sagu sebagai bahan makanan utama. Selain itu, masyarakat Jawa dapatkembali mengonsumsi tanaman palawija, seperti singkong, kentang, dan ubi.  Hal yang sama perlu dilakukan pada daerah lainnya, di mana keanekaragaman kebutuhan pangan menjadi fokus utama. Dengan tujuan untuk mengurangi ketergantungan pada satu jenis komoditas pertanian saja. Apalagi ketidaktentuan cuaca karena perubahan iklim tidak jarang memicu terjadinya gagal panen. Selain itu, langkah ini merupakan salah satu cara meredam ketergantungan Indonesia terhadap pangan impor.

Diversifikasi Pangan Berbasis Kearifan Lokal
            Diversifikasi pangan merupakan upaya mengembalikan kedaulatan pangan nasional. Hal ini harus diiringi dengan pengembangan berbasis kearifan lokal. Artinya, pola diversifikasi pangan harus mengacu pada penggunaan bahan baku dalam negeri seperti bibit, pupuk, dan pembasmi hama. Tujuannya, untuk mengurangi ketergantungan pangan terhadap impor. Maka, penelitian dan pengembangan bahan baku dan produk pertanian harus menjadi satu kesatuan rantai pangan sehingga mampu meningkatkan kemandirian berbasis kearifan lokal.
Meskipun diversifikasi pangan bukan merupakan program baru, program ini merupakan langkah jitu untuk meredam gejolak pangan dunia dan nasional ditengah ancaman perubahan iklim. Selain itu, diversifikasi pangan menjadi cara mengembangkan kearifan lokal melalui pengoptimalan sumber daya yang ada. Tidak hanya itu Rao et al (2004) mengatakan bahwa diversifikasi usaha pertanian dapat sebagai strategi pengentasan kemiskinan, peningkatan lapangan kerja, konservasi lingkungan, dan meningkatkan pendapatan usaha tani.
Implementasi diversifikasi pangan berbasis kearifan lokal memerlukan strategi dan komitmen yang kuat dari pemerintah, petani, pengusaha, dan masyarakat. Keberhasilan program ini memerlukan kerjasama dan koordinasi yang dikuat dari berbagai pemangku kepentingan. Dimana pemerintah memegang peranan penting dalam membuat kebijakan yang pro pertanian lokal. Artinya, sinkronisasi dan koordinasi kebijakan menjadi hal yang penting agar tidak saling kontradiktif. Sedangkan, petani dan pengusaha perlu mendukung pengembangan pertanian berbasis kearifan lokal. Kecenderungan menggunakan produk impor perlu secara perlahan dikurangi. Sebaliknya, perlu adanya sikap nasionalisme dalam melakukan pengembangan pertanian. Dukungan masyarakat Indonesia menentukan keberhasilan pelaksanaan diversifikasi pangan sebagai program nasionalisasi pertanian. Dengan membeli dan mengonsumsi produk pertanian dalam negeri.
Keberhasilan pelaksanaan diversifikasi pangan berbasis kearifan lokal tidak hanya mampu meningkatkan ketahanan pangan nasional. Namun, juga mampu mengembalikan kedaulatan Indonesia sebagai negara agraria yang kuat dan mandiri. Selain itu, program diversifikasi pangan dapat mengembalikan budaya pangan nasional yang beranekaragam dan rupa. Dengan demikian, pelaksanaan program ini merupakan kunci keberhasilan Indonesia dalam menciptakan kemandirian dan kebudayaan pangan nasional. 
  
Tantangan Penganekaragaman Pangan

            Belajar dari pengalaman sejarah pembangunan pertanian di Indonesia, pelaksanaan program diversifikasi usahatani telah diperkenalkan sejak orde baru. Politik kepentingan pemerintah yang lebih mengutamakan swasembada beras menyebabkan pelaksanaan diversifikasi usahatani tidak berkelanjutan dan tanpa petunjuk yang jelas.  Akhirnya, pemerintah memprioritaskan produksi padi untuk mencapai swasembada (Siregar dan Suryadi, 2006). Saat itu diversifikasi usahatani seakan menjadi ancaman besar bagi program pemerintah ketika itu, yaitu intensifikasi pertanian. Hal ini berakibat pada homogenitas konsumsi yang menitikberatkan pada satu atau beberapa komoditas pertanian saja.
            Beralih ke masa reformasi yang telah berlangsung selama 14 tahun juga belum mampu mengembalikan kejayaan Indonesia sebagai negara agraria. Melonjaknya harga daging sapi, bawang merah dan putih, kedelai, dan cabai. Menunjukkan bahwa selama orde reformasi sistem pembangunan pertanian di Indonesia jauh dari harapan. Permasalahan koordinasi dan komitmen dalam memajukan pertanian domestik jauh dari kata sempurna. Bahkan ada kecenderungan berjalan sendiri-sendiri tanpa koordinasi yang jelas untuk setiap lini pemangku kebijakan di sektor pertanian.
Selain itu, terdapat tantangan teknis dalam pelaksanaan diversifikasi pangan berbasis kearifan lokal di lapangan. Menurut Pingali (2004) terdapat empat faktor yang menjadi kendala pengembangan diversifikasi tanaman pangan. Pertama, sifat petani yang cenderung menghindar dari risiko (risk aversion). Kedua, adanya masalah kesesuaian dan hak atas lahan, maksudnya tidak semua lahan pertanian cocok untuk mengembangkan diversifikasi usahatani. Ketiga, infrastruktur irigasi yang tidak sesuai dengan sehingga menghambat terjadinya diversifikasi usahatani.  Keempat, ketersediaan tenaga kerja yang cukup besar menjadi kendala bagi penerapan diversifikasi usahatani. Pasalnya, kebutuhan tenaga kerja dalam penerapan pola diversifikasi membutuhkan tenaga kerja yang lebih besar. Meskipun, di sisi lain penyerapan tenaga kerja mampu menekan angka pengangguran dan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Gerakan Penganekaragaman Pangan Nasional

            Gerakan Nasional Penganekaragaman Pangan (GNPP) bisa menjadi solusi di tengah homogenitas pangan. Artinya, gerakan ini merupakan suatu cara penyadaran kepada semua pihak akan pentingnya diversifikasi pangan. Sebab keterlibatan semua pihak menentukan tingkat keberhasilan program ini. Namun, untuk merealisasikan Gerakan Nasional Penganekaragaman Pangan memerlukan keberpihakan pemerintah sebagai pembuat kebijakan pangan nasional. Dukungan kebijakan nasional terhadap penganekaragaman pangan dapat menjadi dasar pelaksanaan program ini. Harapannya ke depan ada cetak biru terkait cara dan pelaksanaan GNPP sehingga memberikan gambaran luas target capaian program.
            GNPP merupakan salah titik cerah membangkitkan kemurungan pangan nasional dari gejolak harga, perubahan iklim, dan ketergantungan impor. Maka, GNPP perlu mencakup tiga hal utama dalam penerapannya di lapangan. Pertama, gerakan nasional penanaman penganekaragaman pangan merupakan langkah awal untuk memberikan kesadaran akan penerapan diversifikasi usahatani. Jika kita bayangkan hal ini merupakan bagian hulu dari rantai produksi tanaman pangan nasional. Artinya, semua pihak yang terlibat memiliki tanggung jawab untuk menanam berbagai macam tanaman pangan. Kedua, gerakan pengembangan dan peningkatan produksi pertanian merupakan cara untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi bibit, pupuk, dan pembasmi hama berbasis produk dalam negeri. Ketiga, gerakan penyadaran penganekaragaman pangan merupakan suatu bentuk sosialisasi dan penyadaran pentingnya mengonsumsi berbagai produk pangan. Hal ini untuk memberikan pemahaman dan penyadaran pentingnya melakukan variasi pola konsumsi pangan. Ketiga program ini merupakan satu kesatuan pelaksanaan GNPP untuk menciptakan kemandirian dan ketahanan pangan nasional.
            Penguatan diversifikasi pangan berbasis kearifan lokal merupakan langkah maju dalam mengembangkan pertanian pangan di Indonesia. Sekaligus menjadi dasar pijakan bangsa Indonesia kembali pada kebudayaannya. Dimana Indonesia dikenal sebagai negaraagraria dengan berbagai macam keanekaragaman pangan. Keberhasilan dalam penerapan program GNPP merupakan upaya penguatan terhadap ketahanan pangan dan melestarikan kebudayaan Indonesia melalui pelestarian keanekaragaman pangan Nusantara.






Readmore → Penguatan Diversifikasi Pangan Berbasis Kearifan Lokal

DIVERSIFIKASI PANGAN BERBENTUK KACANG-KACANGAN

A.    TINJAUAN PUSTAKA

1.   Definisi Diversifikasi Pangan                              
Terdapat berbagai pengertian tentang diversifikasi pangan. Menurut Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2011-2015, penganekaragaman pangan atau diversifikasi pangan adalah upaya peningkatan konsumsi aneka ragam pangan dengan prinsip gizi seimbang.
Diversifikasi pangan menurut Peraturan Pemerintah Nomor. 68 Tahun 2002 Tentang Ketahanan Pangan adalah upaya peningkatan konsumsi aneka ragam pangan dengan prinsip gizi seimbang. Prinsip dasar dari diversifikasi konsumsi pangan adalah bahwa tidak satupun komoditas atau jenis pangan yang memenuhi unsur gizi secara keseluruhan yang diperlukan oleh tubuh. Namun, dengan adanya peranan pangan sebagai pangan fungsional seperti adanya serat, zat antioksidan dan lain sebagainya sehingga dalam memilih jenis makanan tidak hanya mempertimbangkan unsure gizi seperti kandungan energy protein, karbohidrat, lemak, vitamin dan mineral tetapi juga mempertimbangkan pangan dengan peranan sebagai pangan fungsional.
Menurut Suhardjo dan Martianto dalam Budiningsih (2009) semakin beragam konsumsi pangan maka kualitas pangan yang dikonsumsi semakin baik. Oleh karena itu dimensi diversifikasi pangan tidak hanya terbatas pada pada diversifikasi konsumsi makanan pokok saja, tetapi juga makanan pendamping.
Soetrisno dalam Budiningsih (2009) mendefinisikan diversifikasi pangan lebih sempit (dalam konteks konsumsi pangan) yaitu sebagai upaya menganekaragamkan jenis pangan yang dikonsumsi, mencakup pangan sumber energi dan zat gizi, sehingga memenuhi kebutuhan akan pangan dan gizi sesuai dengan kecukupan baik ditinjau dari kuantitas maupun kualitasnya.
Widyakarya Pangan dan Gizi tahun 1998 menyebutkan pengertian tentang diversifikasi pangan sebagai berikut:
1.      Diversifikasi pangan dalam rangka pemantapan produksi padi. Hal ini dimaksudkan agar laju peningkatan konsumsi beras dapat dikendalikan, setidaknya seimbang dengan kemampuan peningkatan produksi beras.
2.      Diversifikasi pangan dalam rangka memperbaiki mutu gizi makanan penduduk sehari-hari agar lebih beragam dan seimbang.
Menurut Hafsah dalam Widowati dan Darmardjati dalam Supadi (2004), pangan perlu beragam karena beberapa alasan, yaitu:
1.      Mengkonsumsi pangan yang beragam adalah alternative terbaik untuk pengembangan sumber daya manusia berkualitas
2.      Meningkatkan optimalisasi pemanfaatan sumber daya pertanian dan kehutanan
3.      Memproduksi pangan yang beragam mengurangi ketergantungan kepada impor pangan
4.      Mewujudkan ketahanan pangan yang merupakan kewajiban bersama pemerintah dan masyarakat.
Diversifikasi pangan tidak dimaksudkan untuk menggantikan beras, tetapi mengubah pola konsumsi masyarakat sehingga masyarakat akan mengkonsumsi lebih banyak jenis pangan dan lebih baik gizinya. Dengan menambah jenis pangan dalam pola konsumsi diharapkan konsumsi beras akan menurun.
2.   Manfaat Diversikasi Pangan                    
Pada saat ini mayoritas masyarakat hanya mengkonsumsi bahan pangan tertentu, sehingga ragam makanan yang dikonsumsi pun menjadi terbatas begitu pula gizi yang diperoleh dari makanan tersebut.  Manfaat diversifikasi pada sisi konsumsi adalah semakin beragamnya asupan zat gizi, baik makro maupunmikro, untuk menunjang pertumbuhan, daya tahan, dan produktivitas fisik masyarakat. Keragaman pangan juga meningkatkan asupan zat-zat antioksidan, serat, serta penawar terhadap senyawa yang merugikan kesehatan seperti kolesterol.
Di samping itu, keragaman juga memberikan lebih banyak pilihan kepada masyarakat untuk memperoleh pangan sesuai preferensinya. Manfaat diversifikasi dari aspek penyediaan adalah semakin beragamnya alternatif jenis pangan yang dapat ditawarkan, tidak terfokus pada pangan tertentu saja. 
3.   Faktor yang Mempengaruhi Diversifikasi Pangan
Penganekaragaman konsumsi pangan dan gizi dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain : faktor yang bersifat internal (individual) seperti pendapatan, preferensi, keyakinan (budaya dan religi), serta pengetahuan gizi, maupun faktor eksternal seperti faktor agro-ekologi, produksi, ketersediaan dan distribusi, anekaragam pangan, serta promosi/iklan.(Suryana)
4.   Bahan Pangan Substitusi
Makanan pokok adalah makanan yang menjadi gizi dasar. Bahan pangan substitusi adalah bahn makanan pengganti makanan pokok. Walaupun kandungan gizinya tidak sama persis dengan kandungan gizi pada makanan pokok, bahan panangan substitusi ini masih memiliki kandungan gizi yang sebagian besar mirip dengan bahan makanan pokok. Contoh dari makanan pokok adalah beras namun saat ini makanan pokok (beras) tersebut dapat digantikan dengan bahan makanan lain seperti jagung, gandum, serealia, ubi-ubian dan lain sebagainya.
5.   Macam-Macam Bahan Pangan Substitusi
1.      Jagung
Adalah tanaman golongan rumputan kedua yang paling luas dibididayakan di Indonesia setelah padi. Komoditas ini memiliki potensi untuk menyangga kebutuhan pangan non beras karena kandungan terbesar biji jagung adalah karbohidrat, dan potensial digunakan sebagai bahan baku industri.
2.      Ubi Kayu atau Singkong
Ketela pohon menjadi bahan pokok stelah beras dan jagung. Di beberapa tempat, tanaman ubi kayu ini dianggap sebagai cadangan pangan dan lumbung hidup. Umbi singkong merupakan sumber energi yang kaya karbohidrat namun sangat miskin protein.
3.      Ubi jalar (Ketela Rambat)
Adalah sejenis tanaman budidaya. Bagian yang dimanfaatkan adalah akarnya yang membentuk umbi dengan kadar gizi (karbohidrat) yang tinggi.
6.   Bahan Pangan Pengganti Kedelai
Kedelai adalah salah satu komoditi pangan utama setelah padi dan jagung. Kedelai merupakan bahan pangan sumber protein nabati utama bagi masyarakat. Kedelai mengandung protein 35% bahkan pada varitas unggul kadar proteinnya dapat mencapai 40-43%. Dibandingkan dengan beras, jagung, tepung singkong, kacang hijau, daging, ikan segar, dan telur ayam, kedelai mempunyai kandungan protein yang lebih tinggi, hampir menyamai kadar protein susu skim kering.
 Kacang Kedelai mengandung energi sebesar 381 kilokalori, protein 40,4 gram, karbohidrat 24,9 gram, lemak 16,7 gram, kalsium 222 miligram, fosfor 682 miligram, dan zat besi 10 miligram.  Selain itu di dalam Kacang Kedelai juga terkandung vitamin A sebanyak 0 IU, vitamin B1 0,52 miligram dan vitamin C 121,7 miligram.  Hasil tersebut didapat dari melakukan penelitian terhadap 100 gram Kacang Kedelai, dengan jumlah yang dapat dimakan sebanyak 100 %
Menteri Pertanian Anton Apriantono di Manado, pada tahun 2010 dalam sebuah acara seminar Pengembangan Kelapa, kerjasama dengan Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado dan Komisi IV DPR RI. mengatakan, Pasokan impor kedelai dari luar negeri sebanyak 1,2 juta ton setiap tahun, sementara kebutuhan riil konsumsi masyarakat akan kebutuhan tumbuhan nutrisi itu sebanyak dua juta ton. Dari uraian tersebut diketahui bahwa impor kedelai untuk memenuhi kebutuhan pangan di Indonesia mencapai 70%, itu merupakan angka yang cukup besar. Oleh karena itu perlu adanya diversifikasi bahan pangan kedelai akan dipacu bersama dengan berbagai komoditi unggulan lain, seperti jagung dan padi, agar ketergantungan bahan pangan impor menjadi berkurang. Diversifikasi bahan pangan kedelai dapat dilakukan dengan cara mengganti bahan pangan yang terbuat dari kedelai diganti dengan bahan pangan substitusi yang masih memiliki kandungan gizi hampir sama dengan kedelai, diantaranya:
1.      Kacang tunggak
Kacang tunggak dapat dikonsumsi pada setiap tahap pertumbuhannyasebagai sayuran. Daunnya yang bertekstur lembut merupakan sumber makanan penting di Afrika dan disajikan sebagai sayuran hijau seperti bayam. Polongmudanya seringkali dicampur dengan bahan makanan lainnya. biji kacangtunggak yang berwarna hijau biasa direbus sebagai sayuran segar, atau juga dapatdikemas dalam kaleng atau dibekukan. Biji kering yang telah matang pun dapatdirebus ataupun diolah sebagai bahan-bahan makanan kalengan (Davis 1991)
Biji kacang tunggak yang telah matang pada pengukuran 100 g mengandung 10 g air, 22 g protein, 1,4 g lemak, 51 g karbohidrat, 3,7 g vitamin,3,7 g karbon, 104 mg kalsium dan nutrisi lainnya. Energi yang dihasilkannyasekitarnya sekitar 1420 kj/100 g. Pada biji yang masih muda dalam 100 gmengandung 88,3 air, 3 g protein, 0,2 g lemak, 7,9 g karbohidrat, 1,6 vitamin, 0,6 karbon, dan energi yang dihasilkannya sekitar 155 kj/100 g (Van der Maesen dan Somaatmaja, 1993).
2.      Kacang Gude
Kacang Gude adalah bahan makanan yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia.  Kacang Gude mengandung energi sebesar 336 kilokalori, protein 20,7 gram, karbohidrat 62 gram, lemak 1,4 gram, kalsium 125 miligram, fosfor 275 miligram, dan zat besi 4 miligram.  Selain itu di dalam Kacang Gude juga terkandung vitamin A sebanyak 150 IU, vitamin B1 0,48 miligram dan vitamin C 5 miligram.  Hasil tersebut didapat dari melakukan penelitian terhadap 100 gram Kacang Gude, dengan jumlah yang dapat dimakan sebanyak 100 %.
7.   Hambatan Dalam Diversifikasi Pangan
Upaya penganekaragaman atau diversifikasi konsumsi pangan walaupun sudah dicanangkan sejak lama, namun hingga saat ini masih belum berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Dari sisi kualitas, konsumsi penduduk Indonesia masih rendah, kurang beragam dan masih didominasi oleh pangan sumber karbohidrat terutama dari padi-padian.
Permasalahan utama diversifikasi pangan adalah ketidakseimbangan antara pola konsumsi pangan dengan penyediaan produksi atau ketersediaan pangan di masyarakat. Produksi berbagai jenis pangan tidak dapat dihasilkan oleh semua wilayah dan tidak dapat dihasilkan pada setiap saat dibutuhkan. Sementara konsumsi dilakukan oleh semua penduduk setiap saat. Menurut Anang dalam Supadi (2004), kendala pengembangan diversifikasi pangan adalah sebagai berikut:
1.      Pangan non-beras (jagung, sorghum, dan umbi-umbian) adalah pangan inferior, berkurang tingkat konsumsinya seiring dengan peningkatan pendapatan masyarakat. Banyak orang memandang bahwa beras sebagai bahan pangan mempunyai status yang lebih tinggi dari pada jagung, sorghum, dan umbi-umbian. Kondisi ini menimbulkan anggapan bahwa apabila beralih kepada bahan pangan jagung, shorgum, dan umbi-umbian sebagai pengganti sebagian beras yang dimakan, akan merupakan suatu kemunduran.
2.      Kebanyakan komoditas pangan non beras tidak siap dikonsumsi secara langsung.
3.      Untuk mendorong kembali ke menu makanan tradisional harus disesuakan dengan perkembangan zaman.
4.      Upaya diversifikasi pangan hingga kini belum memberikan hasil yang memuaskan. Produksi tanaman pangan masih sangat didominasi oleh beras.
5.      Upaya diversifikasi konsumsi pangan melalui kebijakan harga dan subsidi banyak mengalami kesulitan. Hal ini dapat dilihat dari kecilnya kemungkinan konsumen untuk melakukan substitusi pangan dari beras ke non beras (jagung atau ubi kayu). Sebsidi memerlukan biaya besar, sedangkan penerima subsidi mungkin dari golongan orang yang berpendapatan menengah ke atas.
Selain itu, masih banyak masalah yang dihadapi dalam distribusi pangan untuk menjamin upaya penganekaragaman konsumsi pangan, antara lain menyangkut sarana transportasi (jalan, angkutan), pergudangan, sarana penyimpanan dan teknologi pengolahan untuk memudahkan distribusi pangan antarwilayah. Pengembangan penganekaragaman konsumsi pangan penduduk juga tidak lepas dari tingkat pengetahuan tentang pangan dan gizi. Hal ini terkait dengan masalah bahwa baik kekurangan maupun kelebihan pangan dan gizi akan menimbulkan masalah kesehatan (Rachman dan Mewa dalam Lastinawati, 2010: 5).
Khusus untuk padi, upaya peningkatan produksi ke dapan nampaknya akan mengalami kesulitan karena berbagai faktor, di antaranya:
1.      Penurunan luas baku lahan sawah.
Konversi besar-besaran lahan pertenian ke non pertanian menambah buruk kondisi pangan di Indonesia. Keterbatasan jumlah lahan berakibat pada kinerja para penggarap lahan, di mana hanya menggarap sedikit lahan dan kesejahteraannya belum tentu terjamin. Sedangkan tuntutan kepada pertanian untuk menghasilkan komoditi pangan sangat besar mengingat populasi penduduk Indonesia yang semakin meningkat.
2.      Penurunan kesuburan lahan
Penurunan kesuburan lahan ini bisa diakibatkan oleh adanya sistem cocok tanam yang tidak memperhatikan kesuburan tanah. Misalnya sistem pertanian dengan cara setelah dilakukan pemanenan, sisa tanaman yang ada di lahan tersebut di bakar (ladang berpindah), sihingga mengakibatkan unsure hara yang ada dalam tanah tersebut menjadi berkurang. Selain itu, penggunaan bahan kimia atau pupuk yang berlebihan juga dapat mempengaruhi kesuburan tanah.
3.      Penurunan kualitas dan luas layanan sistem irigasi
Penurunan kualitas sistem irigasi ini dapat ditinjau dari kanduangan air yang digunakan sebagai air irigasi. Air yang dialirkan pada lahan-lahan pertanian sebagian besar mengandung zat-zat kimia berbahaya yang diperoleh dari aliran air dari rumah tangga. Dengan kualitas air irigasi yang rendah, dapat mengakibatkan produksi terhadap bahan pangan bisa terhambat dan menurun.
4.      Lambannya adopsi teknologi petani
Pada saat ini penggarap lahan pertanian kebanyakan adalah orang-orang dengan tingkat pendidikan rendah. Biasanya tata cara bertani diperoleh dari orang-orang yang menggarap lahan tersebut sebelum mereka secara turun-temurun. Teknologi pertanian yang semakin canggih, mengakibatkan petani enggan untuk mengaplikasikan teknologi tersebut karena dianggap terlalu rumit.
5.      Kebijakan intensif yang tidak efektif
6.      Peningkatan jumlah petani gurem
7.      Masih tingginya kehilangan hasil
Kehilangan hasil pertanian bisa terjadi pada proses-proses penanganan pasca panen. Misalnya pada saat, pemanenan, pemilahan, pengemasan, distribusi, pengangkutan, hingga sampai ke tangan konsumen.
8.   Upaya Percepatan Diversifikasi Pangan
            Pada perkembangan terakhir, Departemen Pertanian mengupayakan percepatan diversifikasi pangan yang diharapkan tercapai pada tahun 2015 melalui dua tahap, yaitu Tahap I tahun 2007-2010 dan Tahap II tahun 2011-2015. Untuk kurun waktu tahun 2007-2010 kegiatan difokuskan kepada penciptaan pasar domestik untuk pangan olahan sumber karbohidrat non beras, sayuran dan buah, serta pangan sumber protein nabati dan hewani melalui suatu kegiatan konstruksi social proses internalisasi diversifikasi konsumsi pangan yang dilaksanakan melalui peningkatan pengetahuan, sikap dan perilaku terhadap aneka ragam pangan melalui pengembangan bisnis pangan. Kurun waktu 2011-2015 difokuskan pada penguatan kampanye nasional diversifikasi konsumsi dan pendidikan gizi seimbang di sekolah dan masyarakat sejak usia dini (Badan Ketahanan Pangan dalam Lastinawati, 2010).
1.      Terdapat empat kegiatan yang akan dilaksanakan, yaitu;
Kampanye nasional diversifikasi konsumsi pangan berbasis sumberdaya pangan local baik untuk aparat pemerintahan tingkat pusat dan daerah, individu, kelompok masyarakat maupun industri.
2.      Pendidikan diversifikasi konsumsi pangan secara sistematis sejak dini.
3.      Peningkatan kesadaran masyarakat untuk tidak memproduksi, menyediakan atau memperdagangkan, mengkonsumsi pangan yang tidak aman.
4.      Fasilitas pengembangan bisnis pangan melalui fasilitasi pengembangan aneka pangan segar, industry pangan olahan dan pangan siap saji berbasis sumber daya lokal.
II.  PEMBAHASAN
Indonesia adalah negara yang dianugerahi kekayaan alam yang berlimpah dengan sumber daya alam yang dihasilkan beragam dan bermutu serta tanahnya yang subur sehingga baik untuk ditanami berbagai jenis tanaman terutama jenis palawija. Namun pemanfaatan tanaman palawija yang beraneka ragam tersebut kurang maksimal, karena kurang pengetahuan tentang teknologi penanaman dan kecenderungan terhadap jenis tanaman tertentu. Karena hanya tergantung dengan satu jenis tanaman tertentu untuk pemenuhan gizi tertentu menimbulkan peningkatan kebutuhan terhadap jenis pangan yang berasal dari jenis tanaman tersebut. Masyarakat menganggap bahwa pemenuhan zat gizi tertentu sudah cukup dari satu jenis makanan saja. Sedangkan berdasarkan analisis kandungan zat gizi, tidak ada satu jenis pangan pun yang mengandung zat gizi lengkap yang mampu memenuhi semua zat gizi yang dibutuhkan manusia. Satu bahan pangan mungkin kaya akan zat gizi tertentu, namun kurang mengandung zat gizi lainnya. Padahal untuk dapat hidup sehat, seseorang paling tidak memerlukan 40 jenis zat gizi yang diperoleh dari makanan. Sehingga untuk memenuhi kelengkapan zat gizi dan agar berbagai tanaman sumber pangan dapat diolah dan dimanfaatkan, diversifikasi pangan sangat perlu untuk diterapkan.
Diversifikasi pangan sendiri merupakan bentuk penganekaragaman pangan mencakup peningkatan jenis dan ragam pangan, baik dalam bentuk komoditas (bahan pangan), pangan semiolahan dan olahan, maupun pangan siap saji. Pendekatan penganekaragaman tersebut dalam program pembangunan nasional dikenal dengan istilah diversifikasi horisontal dan vertikal. Melalui pengembangan budi daya berbagai komoditas pangan (diversifikasi horisontal) akan dihasilkan beragam bahan pangan seperti kacang tunggak, gude, koro, dan komak. Dengan pengembangan aneka produk pangan olahan akan dihasilkan produk seperti tempe, tahu, susu, dan kecap (diversifikasi vertikal).

A.    Keterkaitan Jurnal dengan Tinjauan Pustaka

Di dalam jurnal yang telah dilampirkan pengarang mengambil contoh kacang-kacangan lokal untuk mendukung diversifikasi pangan di Indonesia. Pada tinjauan pustaka telah dibahas bahwa Indonesia mengimpor serealia khususnya kedelai sebesar 70% hal tersebut dikarenakan kuantitas kedelai dalam negeri tidak mampu mencukupi kebutuhan kedelai yang diminta masyarakat. Untuk itu perlu adanya diversifikasi kedelai agar kebutuhan kedelai dalam negeri tercukupi. Banyak hal yang dilakukan dalam pertanian untuk mendukung diversifikasi kedelai diantaranya menggunakan atau memanfaatkan kacang-kacangan lokal diantaranya kacang tunggak dan kacang gude sebagai substitusi kedelai. Walaupun kandungan gizi kacang tunggak dan kacang gude tidak sama persis dengan kandungan gizi kacang kedelai, namun kedua kacang tersebut dapat digunakan sebagai alternatif pengganti kacang kedelai. Perbandingan kandungan gizi antara kacang kedelai, kacang tunggak, dan kacang gude per 100 g adalah sebagai berikut:
Jenis kacang
Protein
Karbohidrat
Lemak
Kacang kedelai
40,4 g
24,9 g
16,7 g
Kacang tunggak
22 g
51 g
1,4 g
Kacang gude
20,7 g
62 g
1,4 g

Substitusi kedelai dengan kacang gude hingga 30% menghasilkan tempe yang diterima konsumen (Indrasari et al. 1992). Kacang tunggak tanpa dicampur kedelai dapat menghasilkan tempe dengan kualitas yang baik. Kacang tunggak, setelah diolah menjadi tempe, mempunyai kandungan nutrisi yang cukup tinggi. Setiap 100 g tempe kacang tunggak mengandung protein 34 g, lemak 3 g, karbohidrat 53 g, serat 3 g, dan abu 1 g. Kandungan asam amino esensial (asam amino yang tidak dapat disintesis tubuh) pada kacang tunggak relatif sama dengan kedelai. Asam ferulat yang terkandung dalam tempe mampu menurunkan tekanan darah dan kandungan glukosa darah. Senyawa fenilpropanoid lainnya, yaitu asap p-koumarik mampu melemahkan zat nitrosamin yang menjadi salah satu penyebab penyakit kanker.
Saat ini masyarakat belum terbiasa mengonsumsi tempe selain dari kedelai. Produsen juga perlu diinformasikan bahwa substitusi kedelai dengan kacang-kacangan lokal bukan merupakan pemalsuan. Sosialisasi dapat dilakukan dengan memberdayakan peran penyuluh.
B.   Faktor yang Menghambat Diversifikasi Kedelai
Faktor yang mengambat diversifikasi kedelai diantanya:
1.      Salah satu faktor penyebab petani enggan membudidayakan kacang-kacangan lokal adalah terbatasnya pengetahuan dan kemampuan dalam mengolah maupun memanfaatkannya. Pengembangan penganekaragaman konsumsi pangan penduduk juga tidak lepas dari tingkat pengetahuan tentang pangan dan gizi. Oleh karena itu, teknologi pengolahan dan pemanfaatan kacang-kacangan lokal perlu terus dikembangkan.
2.       Kebanyakan komoditas pangan non kedelai tidak siap dikonsumsi secara langsung.
3.      Upaya diversifikasi pangan hingga kini belum memberikan hasil yang memuaskan. Produksi tanaman pangan masih sangat didominasi oleh kedelai.




Readmore → DIVERSIFIKASI PANGAN BERBENTUK KACANG-KACANGAN