Showing posts with label Cerpen. Show all posts
Showing posts with label Cerpen. Show all posts

Disgrafia itu Keberuntunganku

Pelajaran sudah berjalan empat bulan. Teman-teman sekelas telah mahir menulis. Yusuf, teman sebangku denganku, bahkan telah mampu menulis sampai beberapa halaman buku full. Dia memang sudah bisa menulis sejak taman kanak-kanak. Tapi aku? Hingga kini aku masih belum mampu menulis. Aku sulit sekali mengeja kempulan huruf-huruf atau kata dan kalimat. Dalam menulis aku seringkali mengurangi susunan hurufnya seperti halnya menulis bekerja biasanya ditulis dengan bekeja, mencerminkan dialog. Susah sekali.
Bukan itu saja. Saat aku membuka buku dan berusaha membaca kata demi kata, huruf-huruf kulihat menari-nari. Mereka mengajakku berdansa, menghilangkan kepedihan yang bergelayut di kepala. Membawaku ke alam bebas, di mana burung-burung terbang melayang-layang, di mana air sungai mengalir gemericik, di mana angin bertiup spoi, dan induk burung emprit memberi makan anak-anaknya yang mulutnya terbuka lebar. Mereka juga membawaku terbang ke planet Mars, Saturnus, Uranus hingga Pluto.

Aku merasa nyaman dan tertawa. Tapi guru yang melihatku merasa heran.
Ayo, Mim! Ini tulisannya apa?” seru Bu Siti sambil mengerutkan kening.
Aku tidak bisa menjawab. Mulutku seperti terkunci.
Dan kejadian itu tidak sekali-dua kali. Melainkan berkali-kali. Hingga Bu Siti telah sampai di ujung kesabaran. Aku dihukum berdiri di depan kelas, Aku tidak tahu apa yang terjadi pada diriku. Aku tidak tahu kelainan apa yang kuderita. Di setiap pelajaran yang selalu berupa penulisan huruf-huruf dan kata-kata aku merasa letih. Pelajaran selalu membosankan. Saat pelajaran aku lebih senang melihat keluar dari balik jendela. Dalam bingkai jendela itu aku bisa melihat dunia yang hidup. Angin kurasakan bergerak. Daun-daun pepohonan bergoyang-goyang. Awan putih dengan latar langit biru berarak-arakan. Dan burung-burung mungil meloncat dari dahan ke dahan, berkicau bersaut-sautan. Dunia benar-benar terasa hidup.
Bagi guru, aku ini mungkin dianggap sebagai anak nakal yang bodoh dan sama sekali tidak memperdulikan pelajaran. Bayangkan, saat guru menerangkan dengan sekuat tenaga dan membimbing kami mengeja, dan menyusun tulisan jadi kata dan kalimat, aku malah asyik melihat pemandangan yang berbingkai jendela itu. Aku asyik bermain-main, tertawa, bersama burung-burung camar yang berteriak-teriak di angkasa. Aku tak punya sayap, tapi dengan melihat jendela, aku bisa terbang bersama awan putih, merasai belainan angin yang begitu lembut, dan menukik laksana elang menangkap buruan. Aku tak tahu, aku ini apa, dan mengapa.
Suatu hari orang tuaku dipanggil ke sekolah. Aku menguping pembicaraan Ibu dan Bu Siti untuk tahu apa sebenarnya yang terjadi padaku.
Maaf, Bu!  Sepertinya Hamim mengalami keterbelakangan mental,” kata Bu Siti.
Ibu hanya diam. Ia nampak tidak bisa menerima kenyataan ini. Sepertinya tidak mungkin. Ibu normal. Ayah juga normal.Lalu aku mengalami keterbelakangan mental? , apa benar dan mengapa ya?
“Ya, Bu Siti,” kata ibuku lirih. “Lalu, apa saran Bu Siti?
Bu Siti menarik nafas panjang dan melepaskannya dengan berat. “Saran saya, Hamim dipindahkan ke Sekolah Luar Biasa (Sekolah Inklusi) saja!
Ibu terdiam cukup lama saat itu. Kenyataan yang didengarnya dari guru kelasku itu sungguh memukull hatinya. Lalu suara Bu Siti seolah menimbulkan gaung di ruang hatinya. Cukup lama gaung itu terjadi.
Ibu keluar dari Ruang Bimbingan dan Konseling (BP) dengan lunglai. Andai aku bisa menghiburnya, aku akan menghiburnya untuk menghembus kabut kedukaan yang menyelimutinya.
Ibu tentu masih belum membicarakan masalahku ini pada Ayah sebab Ayah masih di luar kota mengurus bisnis dan kerjaannya. Mungkin Ayah datang tiga hari lagi. Jeda tiga hari ini merupakan kesempatan bagiku untuk tetap bisa berada di sekolah seperti biasanya sebelum nanti aku dipindah ke Sekolah Inklusi. 
*********
“Bapak penggantinya Bu Siti yang sedang cuti hamil. Nama Bapak Ubaid. Biar terdengar keren, panggill saja Pak Ubaid!” kata seorang guru baru ketika mengenalkan diri.
Pak ubaid sangat humoris. Selama mengajar, beliau menyelingi humor-humor segar yang membuat kami tertawa. Pembelajaran terasa cair, menyenangkan. Kami belajar sambil menyanyi, menari dan membebaskan imajinasi untuk memilih-milih asa. Bukan itu saja, Pak Ubaid kadang juga mengajak kamii ke luar kelas. Duduk-duduk di atas rerumputan di lapangan sekolah sambil bercerita, belajar di taman sekolah sambil menghirup udara yang segar di bawah garis-garis sinar mentari. Sungguh, belajar terasa penuh dengan keceriaan.
Sehari setelah Ayah pulang dari luar kota, Pak Ubaid berkunjung ke rumah. Aku ada di kamar waktu itu. namun aku masih bisa mendengar pembicaraan mereka, meski sayup-sayup.
“Pak. Bu. Hamim tidak mengalami keterbelakangan. Ia hanya kesulitan dalam mengenali ejaan dan susunan kata dan kalimat pak. Makanya, hingga sekarang ini dia masih susah menulis. Dalam psikologi ini dinamakan Disgrafia,” kata Pak Ubaid menjelaskan.
Pak Ubaid lalu menunjukkan buku-bukuku. “Ini tulisan Hamim. Saat menulis kata “kerja”, ia menulis “kerjah”. Saat mau menulis “susah”, ia menulis “susa”. Lalu lihat yang ini. Ia menulis kata dengan cara yang mencerminkan kesalahan ucap, pembalikan huruf dlam kata, pembalikan suku kata, konsonan maupun vokal. Dan sebagainya,” lanjutnya.
Ayah-Ibu hanya diam dan mendengarkan penjelasan Pak Ubaid dengan seksama. 
“Dengan melihat tulisan-tulisan ini, saya sudah menyimpulkan bahwa Hamim mengalami disgrafia, bukan keterbelakanganmental. Untuk membuktikan bahwa Hamim tidak mengalami keterbelakangan seperti yang dikira selama ini, saya memberikan Tes Matrix kepadanya. Tes Matrix adalah tes kecerdasan yang tidak tergantung pada kemampuan mengenal huruf dan angka. Jadi meski yang dites belum bisa membaca, tes tetap valid. Hasilnya, sungguh sangat mencengangkan. Hamim mendapat skor maksimal. Disimpulkan bahwa ia sangat cerdas, dan tidak mengalami keterbelakangan mental. Berarti apa yang dia alami adalah disgrafia,” tegas Pak Ubaid.
Mendengar apa yang dikatakan Pak Ubaid dari kamar, aku merasa lega.Hening sesaat.
“Terus, apa yang harus kami lakukan?” tanya Ibu.
“Kemarin malam, kami merencanakan akan memindahkan Hamim ke Sekolah Inklusi,” ujar Ayah menimpali. 
“Kita semua harus membantunya menulis. Menurut saya, tidak usah dipindahkan ke Sekolah Inklusi. Saya akan membantunya menulis dengan banyak variasi. Bapak-Ibu mohon mendampingi dan membimbing Hamim menulis tulisan-tulisan sederhana. tulisan yang disertai gambar-gambar. Dengan latihan secara terus menerus, kesulitanya akan teratasi,” ujar Pak Ubaid membesarkan hatiayah dan Ibu.
********
Aku sangat kagum pada Pak Ubaid. Di sekolah beliau membantuku mengenali huruf-huruf dan angka-angka dengan penuh keikhlasan. Aku bisa melihat keikhlasan itu dari matanya. Pak Ubaid pun mengajariku latihan gerakan menulis, memegang pensil dengan cara yang benar, , menjiplak tulisan,  menggambar diantara dua garis, mengajariku membuat dua jenis huruf huruf yang utuh dan huruf yang terbuat dari titik-titik.  menuliskan huruf-huruf berukuran kecil dan besar, mengajari membedakan huruf besar dan kecil ditingkatkan dengan menuliskan kata-kata dan selanjutnya kalimat
“Coba susun huruf-huruf ini sehingga terbaca  “ini ibu memasak ubi!” pinta Pak ubaid kepadaku.
Aku pun mencari-cari huruf dan menyusunnya sehingga membentuk kata. Tentu dengan bantuannya.
Lalu Pak Ubaid menyusun huruf-huruf membentuk sebuah tulisan. “Coba, ini bacaannya apa?!”
bui itu di buat ibu,” jawabku.
Nah...Bagus,” ujar Pak Ubaid.
Aku menjalankan perintah Pak Ubaid dengan senang hati. Dalam waktu singkat kemampuan menulisku banyak mengalami peningkatan, meski tak semahir teman-temanku sekelas.
Kemampuanku menulis ternyata berimbas juga pada kemampuanku di bidang membaca. Bakatku di bidang membaca berkembang pesat dengan telah terbukanya penghalangku selama ini. Dengan melihat saja, aku kian hari kian gemar membaca,jika ada tulisan-tulisan di manaapun beradaa aku lebih senang membacanya , meski dengan terbata juga, kala itu aku melihat buku di meja yang bertuliskan puisi, ku ambillah buku itu , dan aku membacanya, dengan bergaya melambaikan tangan dan meski dengan nada terbata-bata. Namun anehnya pak Ubaid yang tak sengajaa mengamatiku dari luar ruang ia merasas simpai dan mendengarkan apa yang aku baca, dari puisi itu, beberapa menit setelah aku selesai membaca satu lembar buku puisi itu, spontan pak ubaid berkata “ wah bagus juga sekarang kamu sudah bisa baca puisi segala, wah tadi bagus lho gaya kamu membacakan puisi itu.
Itulah sebabnya, meski aku tak selancar teman-temanku dalam membaca, aku selalu mendapat tugas membaca puisi. Pak Ubaid bangga melihatku mengalami perkembangan yang pesat. Lebih bangga lagi melihatku kini lebih percaya diri dan tak lagi bersembunyi di sudut kelas di bawah jendela.
“Kamu ikut lomba baca puisi, ya, Mim...?!” pinta Pak Ubaid.
Di kelas, aku memang terbilang paling gemar membaca puisi sekarang ini. Tapi apakah aku cukup layak ikut lomba baca puisi
“Saya, kan, masih kelas III, Pak Ubaid. Lomba baca puisi itu untuk kelas V ke atas, kan?” kataku menjawb perintah Pak Ubaid.
“Ya. Memang untuk kelas V ke atas. Tapi kamu boleh juga mencobanya. Santai saja! Setidaknya untuk pengenalan,” kata Pak Ubaid, guruku yang masih muda itu.
“Apa saya bisa, ya? Saya kan, masih ngawaur dan asal baca saja puisi itu di kelas, Pak,? kataku ragu.
“Oh, lomba baca puisi itu mengandalkan gaya dan intonasi pembacaanya kok. Tidak terlalu membutuhkan menuliskannya. Kamu bisa saja membaca dengan cara kamu sendiri,” jelas Pak Ubaid.
Lalu Pak ubaid menyodorkan lembar-lembar contoh puisi. Aku membaca lembar demi lembar puisi sambil menggerak-gerakkan bibirku. Aku bergaya melambai-lambaikan tangan dan mengeraskan juga mengecilkan pelafalan kata.
Pak Ubaid melihat apa yang kulakukan sekaligus membimbingku pun akhirnya berkata, “Excelent!
*********
Hari minggu. Beberapa anak duduk-duduk di taman di depan kelas sambil memegang buku yang terbuka. Dari depan terlihat gambar seperti lukisan orang sedang melambaikan tangan di sampul buku itu:. Aku ikut juga duduk-duduk di taman, tapi tidak membawa buku. 
“Anak-anak yang ikut lomba baca puisi, silakan masuk ke kelas!” kata Pak Ali, guru kelas V.
Anak-anak berlari ke kelas dengan semangat. Sedangkan aku berjalan dengan gontai. Pak Ubaid menghampiriku. “Ayo, semangat! Kamu pasti bisa!”
Setelah semua peserta masuk kelas, Pak Ali tampil ke depan kelas. Lomba baca puisi ini dilaksanakan sekaligus sebagai seleksi untuk menentukan wakil sekolah kita dalam ajang lomba baca puisi SD tingkat kabupaten. Nanti akan diambil 5 juara, juara I, II, III, harapan I, dan harapan II. Kelima juara ini nanti akan dibimbing secara intensif untuk mengkuti lomba di tingkat kabupaten.”
Aku mencoba membaca puisi dengan lepas. Tanpa beban. Ketika huruf terlihat menari-nari saat kueja, aku tersenyum. Dengan tertatih-tatih kubaca tiap bait dan syair puisi, lalu ku bergaya dengan melambaikan tangan, berdiri, jongkok, menunduk, berbaring  dan sebagainya.
Hasilnya, aku masuk 10 besar pada tahap I sehingga bisa mengikuti tahap II. 
Usai menyelesaikan baca puisi pada tahap II, kami pulang. Pengumuman tentang juara-juaranya akan diumumkan besok pada hari senin saat upacara bendera.
*********
Inilah saat-saat yang mendebarkan. Pak Ali mengumumkan para juara di akhir upacara bendera.  “Juara I diraih oleh Marsha Aprilia Kusumawardani. Juara II: Adhelia Aurellia Putri. Juara III diraih oleh Hamim. Juara Harapan I: Nur Qumaida, dan Juara Harapan II: Dzulfikar Saputra. Nama-nama yang saya sebutkan tadi harap maju ke depan untuk memperoleh piala penghargaan,” kata Pak Ali.
Anak-anak yang namanya dipanggil berlari ke depan barisan, kecuali aku. Pak Ubaid yang berada di barisan para guru menengok ke arah barisan kelas III. Pandangan mata beliau mencari-cari di mana aku berada. Saat Pak Ubaid menemukanku, beliau memberi melambaikan tangan kepadaku agar tampil ke depan. Aku berjalan dengan ragu. Aku ragu kalau ini nyata dan bukan mimpi. Meski aku hanya memperoleh juara III, aku merasa ini sebagai sebuah keajaiban. Di antara para juara, hanya aku yang dari kelas III, anak yang selama ini dianggap bodoh dan terbelakang.
Aku memegang piala dengan tangan bergetar-getar dan jantungku berdetak-detak, tubuhku serasa merinding. Seusai barisan dibubarkan aku menemui Pak Ubaid dan mengucapkan terimakasih atas semuanya. Pak Ubaid telah menemukanku dan mengentasku dari kolam lumpur nan pekat.aku teringat dengan kata-kata beliau dalam menasehatiku beberapa waktu yang lalu;
There is a will there is a way, and All Is Well.
Disitu ada kemauan disitu akan ada jalan , dan semuanya akan baik-baik saja. 


Readmore → Disgrafia itu Keberuntunganku

ROBOHNYA SURAU KAMI (CERPEN KARYA A.A. NAVIS)

Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat pasar. Maka kira-kira sekilometer dari pasar akan sampailah Tuan di jalan kampungku. Pada simpang kecil ke kanan, simpang yang kelima, membeloklah ke jalan sempit itu. Dan di ujung jalan nanti akan Tuan temui sebuah surau tua. Di depannya ada kolam ikan, yang airnya mengalir melalui empat buah pancuran mandi.

Dan di pelataran kiri surau itu akan Tuan temui seorang tua yang biasanya duduk di sana dengansegala tingkah ketuaannya dan ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-tahun ia sebagai garin, penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya Kakek.

Sebagai penajag surau, Kakek tidak mendapat apa-apa. Ia hidup dari sedekah yang dipungutnya sekali se-Jumat. Sekali enam bulan ia mendapat seperempat dari hasil pemungutan ikan mas dari kolam itu. Dan sekali setahun orang-orang mengantarkan fitrah Id kepadanya. Tapi sebagai garin ia tak begitu dikenal. Ia lebih di kenal sebagai pengasah pisau. Karena ia begitu mahir dengan pekerjaannya itu. Orang-orang suka minta tolong kepadanya, sedang ia tak pernah minta imbalan apa-apa. Orang-orang perempuan yang minta tolong mengasahkan pisau atau gunting, memberinya sambal sebagai imbalan. Orang laki-laki yang minta tolong, memberinya imbalan rokok, kadang-kadang uang. Tapi yang paling sering diterimanya ialah ucapan terima kasihdan sedikit senyum.

Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal. Dan tinggallah surau itu tanpa penjaganya. Hingga anak-anak menggunakannya sebagai tempat bermain, memainkan segala apa yang disukai mereka. Perempuan yang kehabisan kayu bakar, sering suka mencopoti papan dinding atau lantai di malam hari.

Jika Tuan datang sekarang, hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu kesucian yang bakal roboh. Dan kerobohan itu kian hari kian cepat berlangsungnya. Secepat anak-anak berlari di dalamnya, secepat perempuan mencopoti pekayuannya. Dan yang terutama ialah sifat masa bodoh manusia sekarang, yang tak hendak memelihara apa yang tidak di jaga lagi.

Dan biang keladi dari kerobohan ini ialah sebuah dongengan yang tak dapat disangkal kebenarannya. Beginilah kisahnya.

Sekali hari aku datang pula mengupah Kakek. Biasanya Kakek gembira menerimaku, karena aku suka memberinya uang. Tapi sekali ini Kakek begitu muram. Di sudut benar ia duduk dengan lututnya menegak menopang tangan dan dagunya. Pandangannya sayu ke depan, seolah-olah ada sesuatu yang yang mengamuk pikirannya. Sebuah belek susu yang berisi minyak kelapa, sebuah asahan halus, kulit sol panjang, dan pisau cukur tua berserakan di sekitar kaki Kakek. Tidak pernah aku melihat Kakek begitu durja dan belum pernah salamku tak disahutinya seperti saat itu. Kemudian aku duduk disampingnya dan aku jamah pisau itu. Dan aku tanya Kakek, "Pisau siapa, Kek?"

"Ajo Sidi."

"Ajo Sidi?"

Kakek tak menyahut. Maka aku ingat Ajo Sidi, si pembual itu. Sudah lama aku tak ketemu dia. Dan aku ingin ketemu dia lagi. Aku senang mendengar bualannya. Ajo Sidi bisa mengikat orang-orang dengan bualannya yang aneh-aneh sepanjang hari. Tapi ini jarang terjadi karena ia begitu sibuk dengan pekerjaannya. Sebagai pembual, sukses terbesar baginya ialah karena semua pelaku-pelaku yang diceritakannya menjadi model orang untuk diejek dan ceritanya menjadi pameo akhirnya. Ada-ada saja orang-orang di sekitar kampungku yang cocok dengan watak pelaku-pelaku ceritanya. Ketika sekali ia menceritakan bagaimana sifat seekor katak, dan kebetulan ada pula seorang yang ketagihan menjadi pemimpin berkelakuan seperti katak itu, maka untuk selanjutnya pimpinan tersebut kami sebut pimpinan katak.

Tiba-tiba aku ingat lagi pada Kakek dan kedatang Ajo Sidi kepadanya. Apakah Ajo Sidi telah membuat bualan tentang Kakek? Dan bualan itukah yang mendurjakan Kakek? Aku ingin tahu. Lalu aku tanya Kakek lagi. "Apa ceritanya, Kek?"


"Siapa?"

"Ajo Sidi."

"Kurang ajar dia," Kakek menjawab.

"Kenapa?"

"Mudah-mudahan pisau cukur ini, yang kuasah tajam-tajam ini, menggoroh tenggorokannya."

"Kakek marah?"

"Marah? Ya, kalau aku masih muda, tapi aku sudah tua. Orang tua menahan ragam. Sudah lama aku tak marah-marah lagi. Takut aku kalau imanku rusak karenanya, ibadatku rusak karenanya. Sudah begitu lama aku berbuat baik, beribadat, bertawakal kepada Tuhan. Sudah begitu lama aku menyerahkan diri kepada-Nya. Dan Tuhan akan mengasihi orang yang sabar dan tawakal."

Ingin tahuku dengan cerita Ajo Sidi yang memurungkan Kakek jadi memuncak. Aku tanya lagi Kakek, "Bagaimana katanya, Kek?"

Tapi Kakek diam saja. Berat hatinya bercerita barangkali. Karena aku telah berulang-ulang bertanya, lalu ia yang bertanya padaku, "Kau kenal padaku, bukan? Sedari kau kecil aku sudah disini. Sedari mudaku, bukan? Kau tahu apa yang kulakukan semua, bukan? Terkutukkah perbuatanku? Dikutuki Tuhankah semua pekerjaanku?"

Tapi aku tak perlu menjawabnya lagi. Sebab aku tahu, kalau Kakek sudah membuka mulutnya, dia takkan diam lagi. Aku biarkan Kakek dengan pertanyaannya sendiri.

"Sedari muda aku di sini, bukan? Tak kuingat punya isteri, punya anak, punya keluarga seperti orang lain, tahu? Tak kupikirkan hidupku sendiri. Aku tak ingin cari kaya, bikin rumah. Segala kehidupanku, lahir batin, kuserahkan kepada Allah Subhanahu wataala. Tak pernah aku menyusahkan orang lain. Lalat seekor enggan aku membunuhnya. Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk. Umpan neraka. Marahkah Tuhan kalau itu yang kulakukan, sangkamu? Akan dikutukinya aku kalau selama hidupku aku mengabdi kepada-Nya? Tak kupikirkan hari esokku, karena aku yakin Tuhan itu ada dan pengasih dan penyayang kepada umatnya yang tawakal. Aku bangun pagi-pagi. Aku bersuci. Aku pukul beduk membangunkan manusia dari tidurnya, supaya bersujud kepada-Nya. Aku sembahyang setiap waktu. Aku puji-puji Dia. Aku baca Kitab-Nya. Alhamdulillah kataku bila aku menerima karunia-Nya. Astagfirullah kataku bila aku terkejut. Masya Allah kataku bila aku kagum. Apa salahnya pekerjaanku itu? Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk."

Ketika Kakek terdiam agak lama, aku menyelakan tanyaku, "Ia katakan Kakek begitu, Kek?"

"Ia tak mengatakan aku terkutuk. Tapi begitulah kira-kiranya."

Dan aku melihat mata Kakek berlinang. Aku jadi belas kepadanya. Dalam hatiku aku mengumpati Ajo Sidi yang begitu memukuli hati Kakek. Dan ingin tahuku menjadikan aku nyinyir bertanya. Dan akhirnya Kakek bercerita lagi.

"Pada suatu waktu, ‘kata Ajo Sidi memulai, ‘di akhirat Tuhan Allah memeriksa orang-orang yang sudah berpulang. Para malaikat bertugas di samping-Nya. Di tangan mereka tergenggam daftar dosa dan pahala manusia. Begitu banyak orang yang diperiksa. Maklumlah dimana-mana ada perang. Dan di antara orang-orang yang diperiksa itu ada seirang yang di dunia di namai Haji Saleh. Haji Saleh itu tersenyum-senyum saja, karena ia sudah begitu yakin akan di masukkan ke dalam surga. Kedua tangannya ditopangkan di pinggang sambil membusungkan dada dan menekurkan kepala ke kuduk. Ketika dilihatnya orang-orang yang masuk neraka, bibirnya menyunggingkan senyum ejekan. Dan ketika ia melihat orang yang masuk ke surga, ia melambaikan tangannya, seolah hendak mengatakan ‘selamat ketemu nanti’. Bagai tak habis-habisnya orang yang berantri begitu panjangnya. Susut di muka, bertambah yang di belakang. Dan Tuhan memeriksa dengan segala sifat-Nya.

Akhirnya sampailah giliran Haji Saleh. Sambil tersenyum bangga ia menyembah Tuhan. Lalu Tuhan mengajukan pertanyaan pertama.

‘Engkau?’

‘Aku Saleh. Tapi karena aku sudah ke Mekah, Haji Saleh namaku.’

‘Aku tidak tanya nama. Nama bagiku, tak perlu. Nama hanya buat engkau di dunia.’

‘Ya, Tuhanku.’

‘apa kerjamu di dunia?’

‘Aku menyembah Engkau selalu, Tuhanku.’

‘Lain?’

‘Setiap hari, setiap malam. Bahkan setiap masa aku menyebut-nyebut nama-Mu.’

‘Lain.’

‘Ya, Tuhanku, tak ada pekerjaanku selain daripada beribadat menyembah-Mu, menyebut-nyebut nama-Mu. Bahkan dalam kasih-Mu, ketika aku sakit, nama-Mu menjadi buah bibirku juga. Dan aku selalu berdoa, mendoakan kemurahan hati-Mu untuk menginsafkan umat-Mu.’

‘Lain?’

Haji Saleh tak dapat menjawab lagi. Ia telah menceritakan segala yang ia kerjakan. Tapi ia insaf, pertanyaan Tuhan bukan asal bertanya saja, tentu ada lagi yang belum di katakannya. Tapi menurut pendapatnya, ia telah menceritakan segalanya. Ia tak tahu lagi apa yang harus dikatakannya. Ia termenung dan menekurkan kepalanya. Api neraka tiba-tiba menghawakan kehangatannya ke tubuh Haji Saleh. Dan ia menangis. Tapi setiap air matanya mengalir, diisap kering oleh hawa panas neraka itu.

‘Lain lagi?’ tanya Tuhan.

‘Sudah hamba-Mu ceritakan semuanya, o, Tuhan yang Mahabesar, lagi Pengasih dan Penyayang, Adil dan Mahatahu.’ Haji Saleh yang sudah kuyu mencobakan siasat merendahkan diri dan memuji Tuhan dengan pengharapan semoga Tuhan bisa berbuat lembut terhadapnya dan tidak salah tanya kepadanya.

Tapi Tuhan bertanya lagi: ‘Tak ada lagi?’

‘O, o, ooo, anu Tuhanku. Aku selalu membaca Kitab-Mu.’

‘Lain?’

‘Sudah kuceritakan semuanya, o, Tuhanku. Tapi kalau ada yang lupa aku katakan, aku pun bersyukur karena Engkaulah Mahatahu.’

‘Sungguh tidak ada lagi yang kaukerjakan di dunia selain yang kauceritakan tadi?’

‘Ya, itulah semuanya, Tuhanku.’

‘Masuk kamu.’

Dan malaikat dengan sigapnya menjewer Haji Saleh ke neraka. Haji Saleh tidak mengerti kenapa ia di bawa ke neraka. Ia tak mengerti apa yang di kehendaki Tuhan daripadanya dan ia percaya Tuhan tidak silap.

Alangkah tercengang Haji Saleh, karena di neraka itu banyak teman-temannya di dunia terpanggang hangus, merintih kesakitan. Dan ia tambah tak mengerti dengan keadaan dirinya, karena semua orang yang dilihatnya di neraka itu tak kurang ibadatnya dari dia sendiri. Bahkan ada salah seorang yang telah sampai empat belas kali ke Mekah dan bergelar syekh pula. Lalu Haji Saleh mendekati mereka, dan bertanya kenapa mereka dinerakakan semuanya. Tapi sebagaimana Haji Saleh, orang-orang itu pun, tak mengerti juga.

‘Bagaimana Tuhan kita ini?’ kata Haji Saleh kemudian, ‘Bukankah kita di suruh-Nya taat beribadat, teguh beriman? Dan itu semua sudah kita kerjakan selama hidup kita. Tapi kini kita dimasukkan-Nya ke neraka.’

‘Ya, kami juga heran. Tengoklah itu orang-orang senegeri dengan kita semua, dan tak kurang ketaatannya beribadat,’ kata salah seorang diantaranya.

‘Ini sungguh tidak adil.’

‘Memang tidak adil,’ kata orang-orang itu mengulangi ucapan Haji Saleh.

‘Kalau begitu, kita harus minta kesaksian atas kesalahan kita.’

‘Kita harus mengingatkan Tuhan, kalau-kalau Ia silap memasukkan kita ke neraka ini.’

‘Benar. Benar. Benar.’ Sorakan yang lain membenarkan Haji Saleh.

‘Kalau Tuhan tak mau mengakui kesilapan-Nya, bagaimana?’ suatu suara melengking di dalam kelompok orang banyak itu.

‘Kita protes. Kita resolusikan,’ kata Haji Saleh.

‘Apa kita revolusikan juga?’ tanya suara yang lain, yang rupanya di dunia menjadi pemimpin gerakan revolusioner.

‘Itu tergantung kepada keadaan,’ kata Haji Saleh. ‘Yang penting sekarang, mari kita berdemonstrasi menghadap Tuhan.’

‘Cocok sekali. Di dunia dulu dengan demonstrasi saja, banyak yang kita perolah,’ sebuah suara menyela.

‘Setuju. Setuju. Setuju.’ Mereka bersorak beramai-ramai.

Lalu mereka berangkatlah bersama-sama menghadap Tuhan.

Dan Tuhan bertanya, ‘Kalian mau apa?’

Haji Saleh yang menjadi pemimpin dan juru bicara tampil ke depan. Dan dengan suara yang menggeletar dan berirama rendah, ia memulai pidatonya: ‘O, Tuhan kami yang Mahabesar. Kami yang menghadap-Mu ini adalah umat-Mu yang paling taat beribadat, yang paling taat menyembahmu. Kamilah orang-orang yang selalu menyebut nama-Mu, memuji-muji kebesaran-Mu,mempropagandakan keadilan-Mu, dan lain-lainnya. Kitab-Mu kami hafal di luar kepala kami. Tak sesat sedikitpun kami membacanya. Akan tetapi, Tuhanku yang Mahakuasa setelah kami Engkau panggil kemari, Engkau memasukkan kami ke neraka. Maka sebelum terjadi hal-hal yang tak diingini, maka di sini, atas nama orang-orang yang cinta pada-Mu, kami menuntut agar hukuman yang Kaujatuhkan kepada kami ke surga sebagaimana yang Engkau janjikan dalam Kitab-Mu.’

‘Kalian di dunia tinggal di mana?’ tanya Tuhan.

‘Kami ini adalah umat-Mu yang tinggal di Indonesia, Tuhanku.’

‘O, di negeri yang tanahnya subur itu?’

‘Ya, benarlah itu, Tuhanku.’

‘Tanahnya yang mahakaya raya, penuh oleh logam, minyak, dan berbagai bahan tambang lainnya, bukan?’

‘Benar. Benar. Benar. Tuhan kami. Itulah negeri kami.’ Mereka mulai menjawab serentak. Karena fajar kegembiraan telah membayang di wajahnya kembali. Dan yakinlah mereka sekarang, bahwa Tuhan telah silap menjatuhkan hukuman kepada mereka itu.

‘Di negeri mana tanahnya begitu subur, sehingga tanaman tumbuh tanpa di tanam?’

‘Benar. Benar. Benar. Itulah negeri kami.’

‘Di negeri, di mana penduduknya sendiri melarat?’

‘Ya. Ya. Ya. Itulah dia negeri kami.’

‘Negeri yang lama diperbudak negeri lain?’

‘Ya, Tuhanku. Sungguh laknat penjajah itu, Tuhanku.’

‘Dan hasil tanahmu, mereka yang mengeruknya, dan diangkut ke negerinya, bukan?’

‘Benar, Tuhanku. Hingga kami tak mendapat apa-apa lagi. Sungguh laknat mereka itu.’

‘Di negeri yang selalu kacau itu, hingga kamu dengan kamu selalu berkelahi, sedang hasil tanahmu orang lain juga yang mengambilnya, bukan?’

‘Benar, Tuhanku. Tapi bagi kami soal harta benda itu kami tak mau tahu. Yang penting bagi kami ialah menyembah dan memuji Engkau.’

‘Engkau rela tetap melarat, bukan?’

‘Benar. Kami rela sekali, Tuhanku.’

‘Karena keralaanmu itu, anak cucumu tetap juga melarat, bukan?’

‘Sungguhpun anak cucu kami itu melarat, tapi mereka semua pintar mengaji. Kitab-Mu mereka hafal di luar kepala.’

‘Tapi seperti kamu juga, apa yang disebutnya tidak di masukkan ke hatinya, bukan?’

‘Ada, Tuhanku.’

‘Kalau ada, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua. Sedang harta bendamu kaubiarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang aku menyuruh engkau semuanya beramal kalau engkau miskin. Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk di sembah saja. Tidak. Kamu semua mesti masuk neraka. hai, Malaikat, halaulah mereka ini kembali ke neraka. Letakkan di keraknya!"

Semua menjadi pucat pasi tak berani berkata apa-apa lagi. Tahulah mereka sekarang apa jalan yang diridai Allah di dunia. Tapi Haji Saleh ingin juga kepastian apakah yang akan di kerjakannya di dunia itu salah atau benar. Tapi ia tak berani bertanya kepada Tuhan. Ia bertanya saja pada malaikat yang menggiring mereka itu.

‘Salahkah menurut pendapatmu, kalau kami, menyembah Tuhan di dunia?’ tanya Haji Saleh.

‘Tidak. Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat sembahyang. Tapi engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak isterimu sendiri, sehingga mereka itu kucar-kacir selamanya. Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis. Padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak mempedulikan mereka sedikit pun.’

Demikianlah cerita Ajo Sidi yang kudengar dari Kakek. Cerita yang memurungkan Kakek.

Dan besoknya, ketika aku mau turun rumah pagi-pagi, istriku berkata apa aku tak pergi menjenguk.

"Siapa yang meninggal?" tanyaku kagut.

"Kakek."

"Kakek?"

"Ya. Tadi subuh Kakek kedapatan mati di suraunya dalam keadaan yang mengerikan sekali. Ia menggoroh lehernya dengan pisau cukur."

"Astaga! Ajo Sidi punya gara-gara," kataku seraya cepat-cepat meninggalkan istriku yang tercengang-cengang.

Aku cari Ajo Sidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa dengan istrinya saja. Lalu aku tanya dia.

"Ia sudah pergi," jawab istri Ajo Sidi.

"Tidak ia tahu Kakek meninggal?"

"Sudah. Dan ia meninggalkan pesan agar dibelikan kain kafan buat Kakek tujuh lapis."

"Dan sekarang," tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh perbuatan Ajo Sidi yang tidak sedikit pun bertanggung jawab, "dan sekarang kemana dia?"

"Kerja."

"Kerja?" tanyaku mengulangi hampa.

"Ya, dia pergi kerja."
Readmore → ROBOHNYA SURAU KAMI (CERPEN KARYA A.A. NAVIS)