Showing posts with label Kisah Hikmah. Show all posts
Showing posts with label Kisah Hikmah. Show all posts

Kecerdikan Orang Kecil


Abu Nawas diminta memberikan ceramah di hadapan pembesar negeri. Semua sudah tahu bahwa para pembesar negeri tersebut suka memras rakyat kecil dengan berbagai sumbangan wajib dan upeti-upeti terselubung. Yaitu jika rakyat memerlukan wewenang mereka untuk menyelesaikan suatu urusan.
Dalam ceramahnya, Abu Nawas lantas bercerita:
“Pada suatu ketika beberapa negara mengadakan pertandingan. Yang ikut bertanding adalah wakil-wakil dari negara Hitam, Putih, Bule, Kuning, dan juga negara kita. Pertandingannya sendiri sebenarnya tidak istimewa. Hanya memeras handuk basah. Siapa yang berhasil mengocorkan air paling banyak dari handuk yang hampir kering itu, dialah yang menang.
“Majulah orang Hitam yang terkenal kuat-kuat. Ia mengangkat handuk itu, lalu memerasnya sekuat tenaga. Namun, hasilnya Cuma beberapa tetes air.
“Sekarang giliran orang Putih yang termahsyur kesaktiannya. Ternyata air yang keluar dari handuk itu juga hanya sedikit.
“Orang Bule yang tersohor sombong pun demikian pula kesudahannya. Walaupun ia sudah berkutat sampai berkeringat, handuk itu Cuma mengeluarkan beberapa titik air.
“Tibalah saatnya orang Kuning yang bangsanya menguasai dua pertiga dunia dengan kecerdikan dan kekuatannya. Memang, orang kuning boleh saja merajalela di jalan-jalan, di pasar-pasar, dan di istana orang-orang berpangkat. Namun, ketika ia memeras handuk yang setengah kering itu, air yang mengucur juga tidak banyak. Hanya beberapa ciprat saja.
“Maka majulah wakil negara kita. Orangnya kecil, kerempeng dan pucat pasi, hingga para wakil negara lainnya mencibirkan bibir. Mana mungkin orang sekurus itu dapat menandingi mereka?
“Tetapi, sungguh mencengangkan. Walaupun ketika mengangkat handuk itu wakil negara kita tersebut sudah keberatan, pada waktu memerasnya air yang keluar banyak sekali, sampai timbul banjir dimana-mana.
“Dengan takjub lawan-lawannya bertanya serempak, ‘Sangat mengherankan. Bagaimanakah Tuan yang kecil dan kurus dapat memeras handuk itu sampai airnya melimpah ruah?”
“Sambil membusungkan dada, wakil negara kita itu lantas menjawab, ‘Wahai Tuan-tuan. Tentu saja tak kan bisa menandingi saya dalam pertandingan memeras handuk ini. Sebab di negeri saya, soal peras-memeras memang merupakan kebiasaan sehari-hari, di mana-mana.’”
Mendengar ceramah Abu Nawas tersebut para pembesar negeri yang sering melakukan pemerasan itu tertunduk. Mereka merasa malu dan berjanji tak kan mengulangi perbuatan buruk itu lagi.
Itulah sekelumit kecerdikan orang kecil yang tidak punya banyak ilmu, harta, maupun kekuasaan. Otaknya bisa berputar lancar dalam keadaan terpaksa untuk mencari keselamatn dan jalan keluar.
Sama seperti yang dialami oleh seorang jemaah haji dari Sunda di Tanah Suci Makkah. Ia tersesat ketika hendak tawaf mengelilingi Ka’bah. Ia telah mencari-cari, di manakah Masjidil Haram, mau bertanya-tanya ia hanya bisa berbahasa Sunda. Padahal dari tadi tidak dijumpainya orang sekampung.
Alangkah gembiranya orang Sunda itu ketika bertemu dengan jemaah lain yang kulitnya sama. Disangkanya orang itu berasal sedaerah dengannya. Maka dengan bahasa Sunda yang lancer ia bertanya:
“Punten. Palih mana nu bade ka Masjidil Haram?” Maksudnya menanyakan arah menuju Masjidil Haram.
Tahu-tahu jamaah yang ditanya bukan orang Sunda. Kulitnya sama, tetapi bahasanya berbeda. Sebab ia orang Jawa totok yang hanya mengerti bahasa Jawa. Karena itu orang tersebut menggeleng seraya menjawab, “Lhah. Boten ngertos.” Artinya, tidak mengerti apa yang ditanyakan.
Tetapi orang Sunda itu tidak kehabisan akal. Ia berpikir, orang Jawa itu toh biasa bersembahyang, dan pasti mengerti bahasa Jawanya surah Al-Fatihah, sebab surah itu wajib dibaca dalam sembahyang.
Ia pun lantas berkata, “Punten. Ihdina Masjidil Haram.” (Ihdina adalah salah satu kalimat dalam Al-Fatihah yang maknanya berilah kami petunjuk.”
Betul juga. Orang Jawa itu paham maksudnya. Maka sambil tertawa orang itu menjawab. ”Shirathal mustaqim.” (Ini juga terdapat dalam Al-Fatihah yang bahasa kitanya berarti jalan lurus.)
Orang Sunda itu dengan suka cita mengucapkan terima kasih, lalu berjalan lurus ke depan. Beberapa langkah di muka ia agak kebingungan. Yang lurus jalannya kecil, sedangkan yang lebar jalannya ke sebelah kiri. Jadi ia menempuh jalan yang agak ke kiri itu karena lebih lebar.
Dari kejauhan orang Jawa tadi berteriak, “Waladl dlallin. Mustaqim. Jangan tersesat. Lurus saja.”

Dengan peringatan terakhir itu, orang Sunda tersebut berhasil mencapai tempat yang dituju, Masjidil Haram, yang tengahnya terdapat Ka’bah, tempat ia akan melakukan tawaf tujuh kali putar.
Readmore → Kecerdikan Orang Kecil

Kejujuran Menundukkan Kejahatan

Setelah menginjak masa remaja, Abdul Qadir berniat untuk menuntut ilmu yang lebih tinggi. Kota yang ditujunya adalah Baghdad. Sebetulnya ibunya khawatir uga karena Baghdad terlalu jauh buat pemuda kecil itu. Apalagi melewati jalan-jalan lengang yang sering dihuni pembegal-pembegal.
Namun, menghadapi kemauan keras anaknya, akhirnya ibunya memberi izin. Uang dinar sebanyak 40 dinar dijahitkan di dalam baju Abdul Qadir. Kemudian anak itu dititipkan kepada sebuah kafilah niaga.
Hanya satu pesan ibunya sebelum berangkat, yaitu apapun keadaan yang dihadapi, Abdul Qadir tidak boleh berbohong kepada siapapun. Pesan ini senantiasa diingat oleh pemuda belia itu, dan dipegangnya sebagai wasiat yang paling berharga.
Pada suatu hari, kafilah itu sampailah di sebuah tempat yang bernama Hammadan. Menjelang masuk ke pintu kota, tiba-tiba muncul 60 penyamun seperti hantu-hantu yang baru bangkit dari kuburnya, dengan menggunakan senjata mereka merampok kafilah itu habis-habisan.
Barangkali lantaran dianggap pemuda kerempeng yang melarat, Abdul Qadir sama sekali tidak diperdulikan. Pikir mereka, pemuda ingusan itu toh tidak membawa apa-apa. Pakaiannya sangat sederhana dan wajahnya polos belaka.
Tapi ada juga seorang penyamun yang bertanya, “Hai anak muda kamu punya apa?”
Abdul Qadir menjawab, “Saya punya uang 40 dinar dijahit di baju saya.”
Penyamun itu tertawa terbahak-bahak, tidak percaya. Datang lagi yang lain. Ia pun bertanya, “Hai, kau punya apa?”
“Saya punya uang 40dinar dijahitkan oleh ibu saya di dalam baju saya.”
Kali ini ia melaporkan kepada kepala penyamun. Mendengar pernyataan tersebut segera diperintahkan agar Abdul Qadir dihadapkan kepadanya.
Kepala penyamun itu memerintahkan agar baju si anak muda digeledah. Betul, dibalik bajunya ada uang 40 dinar yang dijahitkan kuat-kuat. Kepala penyamun sampai heran dan bertanya, “Hai anak muda. Uang sudah disembunyikan, mengapa kau katakan rahasianya?”
Abdul Qadir menjawab tenang, “Ibu saya berpesan supaya jangan berdusta kepada siapapun. Saya telah berjanji kepada ibu untuk mematuhi pesannya itu dalam keadaan bagaimanapun.”
Mendengar jawaban yang serba jujur ini terharu hati kepala penjahat itu. Seolah-olah ia ditegur dengan keras. Matanya sampai berkaca-kaca, ingat akan dosa dan keculasannya. Seumur hidupnya ia tidak pernah kenal kejujuran. Hidupnya menipu, dan menindas orang lain. timbullah penyesalannya, hingga tanpa terasa ia menangis dengan sedih.
Setelah lapang dadanya dengan tangisan sesal itu, ia menjabat tangan Abdul Qadir dan memeluknya. Ia berjanji akan menghentikan perbuatan jahatnya karena malu terhadap kejujuran seorang anak muda.
Semenjak itu kepala penjahat itu dikenal sebagai orang yang insaf, demikian pula anak buahnya.

Readmore → Kejujuran Menundukkan Kejahatan

Antara Kopi Luwak dan Pelacur

Sebagai pemakan tumbuh-tumbuhan, buah-buahan, dan bunga-bungaan, luwak (viverridae) merupakan binatang yang pandai memilih makanan. Ia selalu makan biji kopi yang baik dan matang. Biji kopi itu lalu mengalami proses fermentasi dalam pencernaannya. Itulah yang membuat rasa kopi ini berbeda. Aromanya lebih harum serta ada rasa pahit dan getir asam yang lebih khas dan spesial. Jadi, kopi luwak yang terkenal nikmat dan mahal tersebut sebenarnya berasal dari tumpukan kotoran. Kotoran, secara kasat mata memang kotor dan menjijikkan. Namun, dalam kehidupan nyata, tak semua yang terlihat kotor dan menjijikkan itu memang begitu adanya. Pelacur misalnya.

Belajar Ar-Roja’ dari Pelacur

Pelacur, bak pedang bermata dua: dicinta dan dicerca. Mendengar namanya saja bagi sebagian orang sudah membuat jijik dan muak, namun buat sebagian lagi mereka adalah teman sesaat sebagai penghibur hati yang duka. Walau dengan segala upaya telah dilakukan untuk memberangusnya, namun profesi tertua di bumi ini masih tetap saja ada.
Pelacur adalah contoh gamblang para pendosa, simbol neraka yang kerap diucapkan oleh para ulama, sosok yang keberadaannya mengundang kecaman warga. Pendek kata ia adalah musuh utama masyarakat beragama.
Tapi, apakah memang sebegitu mulianyakah kita sehingga merasa berhak merendahkan mereka? Seakan kitalah pemilik surga yang bisa memasukkan penzina itu ke neraka. Kalau anda berpendapat demikian, maka saya akan mengajak Anda melihatnya dari sisi yang berbeda. Perjalanan hidup terkadang memang aneh, justru dari pelacur hina itulah saya mendapat pelajaran berharga tentang arti sebuah asa.
Pada suatu kesempatan wawancara, seorang pelacur ditanya, “Apakah mbak tidak ingin meninggalkan kehidupan seperti ini dengan hidup normal dan membina sebuah keluarga?“ pelacur tersebut menjawab “Justru karena saya ingin punya suami, maka setiap melayani tamu saya berdoa kepada Gusti Allah agar tamu tersebut senang kepada saya dan kelak menjadi suami saya!”

Jawaban yang luar biasa. Bayangkan, dalam keadaan berzina saja ia berdoa! Asa, harapan atau Roja’ (dalam terminologi Islam) bukan hanya sekadar kata yang diucapkan, namun oleh pelacur tersebut Roja’ sudah menjadi bagian dari hidupnya sendiri.
Readmore → Antara Kopi Luwak dan Pelacur

KH. Maimun Zubair


Pribadi yang santun, jumawa serta rendah hati ini lahir pada hari Kamis, 28 Oktober 1928. Beliau adalah putra pertama dari Kiai Haji Zubair bin Kiai Dahlan bin Warijo bin Munandar. Dan siapapun zaman itu tidaklah menyangsikan, bahwa ayahnda Kyai Maimoen, Kyai Zubair, adalah murid pilihan dari Syaikh Sa’id Al-Yamani serta Syaikh Hasan Al-Yamani Al- Makky. Dua ulama yang kesohor pada saat itu. Ayahandanya Seorang Kiai yang tersohor karena kesederhanaan dan sifatnya yang merakyat. Ibundanya adalah putri dari Kiai Ahmad bin Syu’aib, ulama yang kharismatis yang teguh memegang pendirian. ulama yang kharismatis yang teguh memegang pendirian. Pada umur 25 tahun, beliau menikah dan selanjutnya menjadi kepala pasar Sarang selama 10 tahun.

Mbah Moen, begitu orang biasa memanggilnya, adalah insan yang lahir dari gesekan permata dan intan. Dari ayahnya, beliau meneladani ketegasan dan keteguhan, sementara dari kakeknya beliau meneladani rasa kasih sayang dan kedermawanan. Kasih sayang terkadang merontokkan ketegasan, rendah hati seringkali berseberangan dengan ketegasan. Namun dalam pribadi Mbah Moen, semua itu tersinergi secara padan dan seimbang.


Kerasnya kehidupan pesisir tidak membuat sikapnya ikut mengeras. Beliau adalah gambaran sempurna dari pribadi yang santun dan matang. Semua itu bukanlah kebetulan, sebab sejak dini beliau yang hidup dalam tradisi pesantren diasuh langsung oleh ayah dan kakeknya sendiri. Beliau membuktikan bahwa ilmu tidak harus menyulap pemiliknya menjadi tinggi hati ataupun ekslusif dibanding yang lainnya.

Kesehariannya adalah aktualisasi dari semua itu. Walau banyak dikenal dan mengenal erat tokoh-tokoh nasional, tapi itu tidak menjadikannya tercerabut dari basis tradisinya semula. Sementara walau sering kali menjadi peraduan bagi keluh kesah masyarakat, tapi semua itu tetap tidak menghalanginya untuk menyelami dunia luar, tepatnya yang tidak berhubungan dengan kebiasaan di pesantren sekalipun.


Pendidikan

Kematangan ilmunya tidak ada satupun yang meragukan. Sebab sedari balita ia sudah dibesarkan dengan ilmu-ilmu agama. Sebelum menginjak remaja, beliau diasuh langsung oleh ayahnya untuk menghafal dan memahami ilmu Shorof, Nahwu, Fiqih, Manthiq, Balaghah dan bermacam Ilmu Syara’ yang lain. Dan siapapun zaman itu tidaklah menyangsikan, bahwa ayahnda Kiai Maimoen, Kiai Zubair, adalah murid pilihan dari Syaikh Sa’id Al-Yamani serta Syaikh Hasan Al-Yamani Al- Makky. Dua ulama yang kesohor pada saat itu.

Kecemerlangan demi kecermelangan tidak heran menghiasi langkahnya menuju dewasa. Pada usia yang masih muda, kira-kira 17 tahun, Beliau sudah hafal diluar kepala kiab-kitab nadzam, diantaranya Al-Jurumiyyah, Imrithi, Alfiyyah Ibnu Malik, Matan Jauharotut Tauhid, Sullamul Munauroq serta Rohabiyyah fil Faroidl. Seiring pula dengan kepiawaiannya melahap kitab-kitab fiqh madzhab Asy-Syafi’I, semisal Fathul Qorib, Fathul Mu’in, Fathul Wahhab dan lain sebagainya.


Pada tahun kemerdekaan, Beliau memulai pengembaraannya guna ngangsu kaweruh, menggali lubang dalamnya wawasan ke Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, dibawah bimbingan KH. Abdul Karim yang terkenal dengan Mbah Manaf. Selain kepada Mbah Manaf, Beliau juga menimba ilmu agama dari KH. Mahrus Ali juga KH. Marzuqi.

Di pondok Lirboyo, pribadi yang sudah cemerlang ini masih diasah pula selama kurang lebih lima tahun. Waktu yang melelahkan bagi orang kebanyakan, tapi tentu masih belum cukup untuk menegak habis ilmu pengetahuan.


Tanpa kenal batas, Beliau tetap menceburkan dirinya dalam samudra ilmu-ilmu agama. Sampai pada akhirnya, saat menginjak usia 21 tahun, beliau menuruti panggilan jiwanya untuk mengembara ke Makkah Al-Mukarromah. Perjalanan ini diiringi oleh kakeknya sendiri, yakni KH. Ahmad bin Syu’aib.

Tidak hanya satu, semua mata air ilmu agama dihampirinya. Beliau menerima ilmu dari sekian banyak orang ternama dibidangnya, antara lain Sayyid ‘Alawi bin Abbas Al-Maliki, Syaikh Al-Imam Hasan Al-Masysyath, Sayyid Amin Al-Quthbi, Syaikh Yasin bin Isa Al- Fadani dan masih banyak lagi.

Dua tahun lebih Beliau menetap di Makkah Al- Mukarromah. Sekembalinya dari Tanah suci, Beliau masih melanjutkan semangatnya untuk “ngangsu kaweruh” yang tak pernah surut. Walau sudah dari Arab, Beliau masih meluangkan waktu untuk memperkaya pengetahuannya dengan belajar kepada Ulama-ulama’ besar tanah Jawa saat itu. Diantara yang bisa disebut namanya adalah KH. Baidlowi (mertua beliau), serta KH. Ma’shum, keduanya tinggal di Lasem jawa tengah Guru dari KH. Abdullah Faqih Langitan. Selanjutnya KH. Ali Ma’shum Krapyak Jogjakarta, KH. Bisri Musthofa, Rembang, KH. Abdul Wahhab Hasbullah, KH. Mushlih Mranggen, KH. Abdullah Abbas, Buntet Cirebon, Syaikh Ihsan, Jampes Kediri dan juga KH. Abul Fadhol, Senori Tuban.


Pada tahun 1965 beliau mengabdikan diri untuk berkhidmat pada ilmu-ilmu agama. Hal itu diiringi dengan berdirinya Pondok Pesantren yang berada disisi kediaman Beliau. Pesantren yang sekarang dikenal dengan nama Al-Anwar. Satu dari sekian pesantren yang ada di Sarang.


Keharuman nama dan kebesaran Beliau sudah tidak bisa dibatasi lagi dengan peta geografis. Banyak sudah ulama-ulama dan santri yang berhasil “jadi orang” karena ikut di-gulo wentah dalam pesantren Beliau. Sudah terbukti bahwa ilmu-ilmu yang Belaiu miliki tidak cuma membesarkan jiwa Beliau secara pribadi, tapi juga membesarkan setiap santri yang bersungguh-sungguh mengecap tetesan ilmu dari Beliau.



Keturunan
Putra putra beliau antara lain:
§  KH Abdullah Ubab
§  KH AGus Najih
§  KH Majid Kamil
§  Gus Abd. Ghofur
§  Gus Abd. Rouf
§  Gus M. Wafi
§  Gus Yasin
§  Gus Idror
dan dua putri, yaitu:
§  Neng Shobihah (Mustofa aqil)
§  Neng Rodhiyah (Gus Anam)

Kisah Teladan Beliau

Antara Beliau dan Gus Dur
“Aku ini tidak pernah setuju dengan Gus Dur”, kata Kyai Maimun Zubair. “Yah... namanya manusia. Tapi aku tidak berani membenci, apalagi memusuhinya. Takut kuwalat!”
Kenyataannya, tidak seratus persen Mbah Maimun berseberangan dengan Gus Dur. Ketika suatu kali seorang tokoh intelektual datang jauh-jauh dari Jakarta untuk mengajak beliau masuk ICMI, Mbah Maimun menolak.
“Pak Kiyai ini intelektual yang mumpuni lho”, kata si tokoh, “cocok sekali kalau masuk ICMI !.”
“Ah, saya cukup Nahdlatul Ulama saja, gabung rombongannya pewaris nabi.” kata mbah Mun
“Memangnya di ICMI nggak bisa?”
“Kan nggak ada hadits Al-ICMI warotsatul anbiyaa’? Kalau Al-Ulamaa' ada!” kata mbah Mun.

Perspektif kacamata Santri dan Alumni Mengenai Ngaji dan Hataman Kitab Ihya` Ulumuddin

Beberapa santri dan alumni yang pernah menimba ilmu pada mbah moen, merasa janggal dan aneh jika mengaji bersama beliau di pondoknya, dan hal ini seperti penuturan santri beliau yaitu seorang kiai desa dari daerah bojonegoro jawa timur, beliau bernama Kiai Achmad Mu`addin menceritakan kepada penulis pada malam hari raya idul fithri 1434 H saat sowan ke ndalem atau kediamannya. Beliau Menuturkan bahwa keanehan itu adalah merupakan karomah. Keanehan yang dimiliki Mbah moen adalah jika beliau saat mengajar beliau sering kali tertidur ditengah-tengah membaca kitabnya, ntah karna kecapean atau apa, namun jikalau kecapean. tapi kok seringakali Mbah moen ketika mengajar itu senantiasa tidur dan kiatab yang dibacanya tersebut masih terbuka dan berada di depannya. Dan semua santrinya tiada yangberani membangunkannya, namun setelah waktu hampir satu jam atau jm belajar usai beliau kerap bangun sendiri lalu beliaupun mengucapkan salam kepada  para santrinya. Dan santrinya pun menjawab salamnya tersebut.

Di beberapa pesantren, khataman pengajian Ihya’ dimeriahkan dengan berbagai acara, seperti pengajian umum, tahlil dan sebagainya. Mengomentari fenomena ini Mbah Moen berpandangan bahwa khataman Ihya’ kalau dimeriahkan, biasanya tidak sampai lima kali Kiainya sudah meninggal. Beliau menyebut beberapa contoh diantaranya, Kyai Ihsan Jampes Kediri, Kyai Jazuli Jember, Kyai pesantren Mayang Ponorogo, dan seorang kyai dari Palembang yang diceritakan panjang lebar.
Ketika saya tanyakan, mengapa demikian, Beliau menjawab, “yo ngono iku”. Setelah jeda beberapa saat Beliau melanjutkan, “Ihya’ iku zuhud”. Saya mengartikan dawuh beliau bahwa karena Ihya’ bersifat zuhud, maka ia tidak cocok dengan hiruk-pikuk kemeriahan yang diadakan dalam rangka memungkasi pengajian Ihya’ tersebut.
Oleh karena itu Mbah Moen berpantang memeriahkan khataman Ihya’. Pernah suatu kali para santri berencana, bahkan sudah mengumpulkan dana, untuk memeriahkan khataman Ihya’. Ketika mengetahui hal tersebut beliau melarangnya. Dan alhamdulillah sejak pertama kali mengampu pengajian Ihya’ di tahun enam puluhan hingga kini, Beliau sudah lebih dari lima kali khataman Ihya’. Semoga Allah memanjangkan dan memberkati umur Beliau.
Menurut Mbah Moen, beberapa kyai terdahulu juga mengambil sikap kehati-hatian serupa. Mbah Baidlowi Lasem, misalnya, kalau ngaji Ihya’ tidak pernah dikhatamkan. Demikian pula Mbah Zubair. Mbah Moen sendiri selalu mengkhatamkan Ihya’, tetapi disertai dengan dua langkah antisipasi: Pertama, tidak memeriahkan khataman; kedua, membuat jeda antara akhir pengajian dengan awal pengajian berikutnya.
Meski demikian Mbah Moen merasa bahwa cara yang ditempuhnya masih ada yang kurang tepat. Beliau menuturkan, setiap kali beliau sampai pada kitab dzikr al-maut ada santri yang meninggal.
Disamping keunikan di atas, Mbah Moen juga menuturkan, “moco Ihya’ iso nyebabno tentrem lan rame”. Saya menangkap pengertian “rame” di sini adalah “rame santrine”.
Tentang “tentrem” ini saya teringat dengan dawuh Beliau ketika pengajian di Dasin Tambakboyo Tuban, “Nduwe duit ora bungah, ora nduwe duit ora susah”. Ini sikap hidup yang bisa mendatangkan ketentraman, tetapi tidak mudah diresapkan. Bisa jadi dengan mengaji Ihya’ seseorang secara perlahan bisa meresapkan sikap hidup semacam itu yang pada gilirannya bisa mendatangkan ketentraman.
Dan tentang “rame santrine”, saya melihatnya sebagai berkah yang dialami Mbah Moen. Umumnya pesantren besar didirikan oleh pengasuh generasi pertama. Setelah diwariskan ke pengasuh generasi kedua atau ketiga barulah pesantren tersebut mengalami peningkatan jumlah santri yang pesat. Tetapi pesantren Al-Anwar yang didirikan Mbah Moen memiliki fenomena yang berbeda. Mbah Moen adalah perintis berdirinya Pesantren Al-Anwar, dan di tangan beliau pula peningkatan jumlah santri mengalami perkembangan pesat. Hingga kini trend pertumbuhan jumlah santri masih berada pada grafik naik. Semoga Allah memanjangkan dan memberkati usia Beliau.

Tentang tanggal lahir Syaikhina
Tanggal lahir Syaikhuna yang selama ini diyakini bertepatan dengan 28 Oktober 1928 ternyata memiliki kejanggalan. Kejanggalan itu terjadi ketika dikonversi ke penanggalan Hijriyah yang ternyata jatuh pada bulan Jumadal Ula. Padahal, seperti disampaikan sendiri oleh Syaikhuna, beliau lahir pada bulan Sya’ban menjelang bulan Ramadhan. Kejanggalan juga terjadi berkaitan dengan wethon. Sebab, 28 Oktober 1928 jatuh pada hari Minggu Wage, sementara Syaikhuna menyebutkan, lahir pada hari Kamis Legi.
Setelah hal ini saya konfirmasikan kepada Syaikhuna sendiri, saya mendapat jawaban bahwa menurut beliau tanggal 28 Oktober 1928 hanyalah perkiraan. Justru beliau yakin bahwa beliau lahir pada Kamis Legi bulan Sya’ban tahun 1347 atau 1348.
Berdasarkan penghitungan falak, Kamis Legi bulan Sya’ban tahun 1347 jatuh pada tanggal 27 bertepatan dengan 7 Pebruari 1929. Dan Kamis Legi bulan Sya’ban tahun 1348 jatuh pada tanggal 23 bertepatan dengan 23 Januari 1930. Dengan mempertimbangkan 28 Oktober 1928 sebagai perkiraan, maka bisa disimpulkan tanggal lahir Syaikhuna adalah 27 Sya’ban 1347 H. bertepatan dengan 7 Pebruari 1929 M., karena tanggal inilah yang lebih dekat dengan 28 Oktober 1928.
Kejanggalan 28 Oktober 1928
Di buku-buku memori siswa Ghozaliyah dan Muhadloroh Al-Anwar, tanggal lahir Syaikhuna tertulis 28-Oktober-1928. Biografi yang ditulis oleh saudara Noor Amin Sa’dullah juga menyebutkan 28-Oktober-1928 sebagai tanggal kelahiran Syaikhuna. Di berbagai biografi yang pernah saya baca, tanggal lahir Syaikhuna juga disebutkan 28-Oktober-1928 yang bertepatan dengan hari sumpah pemuda. Demikian pula biografi yang ditulis KH Muhammad Najih Maemoen menyebutkan hari sumpah pemuda sebagai hari kelahiran Syaikhuna. Dan tanggal inilah yang selama ini diyakini banyak orang sebagai hari kelahiran Syaikhuna.
Pada acara haul Mbah Zubair tahun 1428 lalu, seperti biasa teman teman alumni yang datang, termasuk saya, sowan ke Syaikhuna. Saat itu Syaikhuna sempat ngendikan bahwa beliau lahir bulan Sya’ban menjelang Puasa. Beliau tidak menyebutkan, tanggal berapa tepatnya, tetapi yang jelas sudah mendekati bulan Ramadhan. Beliau hanya memastikan bahwa wetonnya adalah Kamis Legi.
Saya juga menemukan informasi yang sama dalam biografi yang ditulis KH Najih Maimoen. Di situ disebutkan bahwa Syaikhuna lahir di Karangmangu Sarang Rembang pada hari Kamis bulan Sya’ban 1428 H. bertepatan dengan 28 Oktober 1928 M.
Saya penasaran dengan informasi terbaru ini. Begitu pulang ke rumah saya coba otak-atik hari “Sumpah Pemuda” dan Kamis Legi bulan Sya’ban dengan menggunakan hisab ephimeris dengan markaz atau epoch Semarang. Hasil pertama yang saya temukan adalah bahwa tanggal 28 Oktober 1928 M. bertepatan dengan Minggu Wage 14 Jumadal Ula 1347 H. Hasil yang tidak menggembirakan tentunya. Sebab, ternyata hari Sumpah Pemuda tidak bertepatan dengan bulan Sya’ban juga tidak jatuh pada hari Kamis Legi.
Sekarang saya menggunakan asumsi kedua, yaitu penanggalan Hijriyah. Saya coba mencari awal Ramadlan yang berada pada tahun 1928, untuk mengkompromikan antara qaul Sya’ban menjelang Ramadhan dari sisi Hijriyah dengan qaul 28 Oktober 1928 dari sisi Masehi. Dan hasilnya, awal Ramadhan 1346 adalah satu-satunya Ramadlan yang berada pada tahun 1928, tepatnya jatuh pada Kamis Legi 23 Pebruari 1928 dengan hitungan istikmal. Ini juga hasil yang tidak memuaskan. Sebab dengan demikian Kamis Legi bulan Sya’ban tidak ada kena-mengenanya dengan 28 Oktober 1928.
Dengan hasil penghitungan di atas maka hanya ada dua kemungkinan: berpatokan dengan penanggalan Masehi dengan mengabaikan informasi Kamis Legi Sya’ban atau berpatokan pada penanggalan Hijriyah dengan mengabaikan hari Sumpah Pemuda. Sebab 28 Oktober 1928 berada di bulan Jumadal Ula yang berarti jauh dari bulan Sya’ban, dan Sya’ban yang berada di tahun 1928 jatuh pada bulan Pebruari yang berarti jauh dari Oktober.
Kamis Legi Sya’ban 1347 atau 1348
Jalan satu-satunya untuk mengurai kejanggalan di atas adalah bertanya langsung kepada sumber aslinya. Pada hari Rabu 28 Juli 2008 selepas jama’ah Maghrib Al-Anwar saya berkesempatan menghadap Syaikhuna dalam suasana yang kondusif untuk bertanya panjang lebar. Saat itu hanya ada saya, Abdul Aziz, menantu Almaghfurlah Pak Thoyfoer, dan temannya.
Saya bertanya, “Ingkang kawulo mireng, panjenengan lahir tanggal 28 Oktober 1928. Nopo leres mekaten?”.
“iku lha’ mung kiro-kiro, heh”, jawab Syaikhuna.
Sebelum sempat bertanya lebih jauh, kami bertiga dipersilahkan makan. Dan selama di meja makan pembicaraan beralih ke topik lain.
Setelah kembali ke ruang tamu, saya tidak langsung melanjutkan wawancara, karena tampaknya Abdul Aziz perlu menyelesaikan maksudsowannya. Beberapa menit kemudian, baru saya meminta ijin untuk bertanya lagi.
“Nopo leres jenengan lahir teng wulan Sya’ban, Yai”, tanya saya.
“iyo bener”, Jawab Syaikhuna pendek.
“tahune 47 utowo 48, aku lali”, sambung Syaikhuna.
Saya keluarkan pena dan kertas yang memang sudah saya persiapkan, kemudian mencatat hasil wawancara. Saya kembali bertanya, “wetonipun Kemis Legi, leres mekaten, Yai”.
Sambil tersenyum Syaikhuna balik bertanya, “Arep mbok kapakno?”.
“Mboten, Yai. Namung bade nyerat biografinipun panjenengan”, jawabku singkat.
“iyo Kemis Legi”, demikian akhirnya Syaikhuna menegaskan wetonnya.
Dari wawancara itu saya mendapatkan beberapa fakta penting langsung dari sumber aslinya sbb :
Syaikhuna yakin, lahir pada bulan Sya’ban
Syaikhuna yakin, lahir pada hari Kamis Legi
Syaikhuna yakin, tahun kelahirannya adalah 1347 atau 1348 H.
Syaikhuna yakin bahwa tanggal lahir 28 Oktober 1928 hanyalah perkiraan dan bukan kepastian.
Dari keempat fakta diatas, dua fakta pertama merupakan kepastian hari dan bulan, sekaligus kata kunci yang dapat menentukan kepastian tanggal. Sebab Kamis Legi merupakan siklus 35 hari. Berarti dalam satu bulan tidak mungkin terjadi dua Kamis Legi. Bahkan, belum tentu setiap bulan memiliki hari Kamis Legi. Dengan demikian, tanggal kelahiran Syaikhuna adalah tanggal yang jatuh pada Kamis Legi di bulan Sya’ban.
Kemudian fakta ketiga dan keempat adalah petunjuk yang dapat menentukan tahun. Fakta ketiga memberikan dua alternatif tahun, yaitu 1347 dan 1348. Dan fakta keempat adalah perkiraan tanggal yang menggunkan sebuah moment besar sebagai ancer-ancer. Dalam tradisi jawa moment besar biasa digunakan sebagai ancer-ancer hari kelahiran. Misalnya, orang yang lahir satu atau dua bulan setelah Gestapu dikatakan lahir saat Gestapu. Dengan berpegang pada fakta keempat bahwa Hari Sumpah Pemudahanyalah perkiraan, maka fakta keempat adalah ancer-ancer untuk menentukan, apakah Syaikhuna lahir di tahun 1347 atau 1348.
Berdasarkan penjelasan di atas saya merumuskan kerangka dasar untuk menentukan tanggal lahir syaikhuna sbb: Syaikhuna lahir pada tanggal yang bertepatan dengan hari Kamis Legi di bulan Sya’ban pada tahun antara 1347 atau 1348 Hijriyah yang lebih dekat dengan 28 Oktober 1928 Masehi.
Untuk mengimplementasikan kerangka dasar tersebut, pertama-tama saya akan menetapkan, kapan bulan Sya’ban 1347 terjadi. Kemudian saya akan mencari, jatuh pada tanggal berapakah hari Kamis Legi bulan tersebut. Langkah yang sama akan saya lakukan untuk mencari Sya’ban tahun 1348. Jika Sya’ban 1347 dan 1348 sama-sama memiliki hari Kamis Legi, maka saya akan memilih tahun yang lebih dekat dengan tanggal 28 Oktober 1928 M. Dan jika hanya salah satu yang memiliki hari Kamis Legi, maka tahun itulah yang saya tetapkan sebagai tahun kelahiran Syaikhuna.
Perlu dicatat bahwa dalam menetapkan awal bulan Sya’ban saya menggunakan metode Hisab Ephimeris dengan markaz atau epoch Sarang yaitu: 6° 44' LS dan 111° 36', serta batas minimal imakanur ru’yah 2°. Pilihan terhadap metode hisab semata mata karena metode inilah yang mungkin saya gunakan. Sebab saya tidak menemukan dokumentasi ru’yah untuk bulan Sya’ban 1347 ataupun 1348. Dan dalam hal ini, perbedaan ru’yah dan hisab hanya mempengaruhi penetapan tanggal hijriyah saja.
Menurut hasil penghitungan saya, bulan Sya’ban 1347 jatuh pada Sabtu Kliwon, 12 Januari 1929. dan Kamis Legi yang ada dalam bulan tersebut jatuh pada tanggal 27 bertepatan dengan tanggal 7 Pebruari 1929.
Untuk tahun 1348, awal bulan Sya’ban jatuh pada Rabo Wage, 1 Januari 1930. Dan hari Kamis Legi di bulan tersebut jatuh pada tanggal 23 bertepatan dengan 23 Januari 1930.
Dengan demikian baik tahun 1347 maupun 1348 sama-sama memiliki Kamis Legi yang jatuh pada bulan Sya’ban, yaitu:
Kamis Legi 27 Sya’ban 1347 H. bertepatan dengan 7 Pebruari 1929
Kamis Legi 23 Sya’ban 1348 H. bertepatan dengan 23 Januari 1930
Dari kedua Kamis Legi Sya’ban di atas, yang lebih dekat dengan 28 Oktober 1928 adalah Kamis Legi Sya’ban tahun 1347. Oleh karena itu saya menyimpulkan bahwa tanggal lahir Syaikhuna adalah 27 Sya’ban 1347 H. bertepatan dengan 7 Pebruari 1929 M.

Jasa dan Dedikasi Beliau
Pondok Pesantren Al Anwar, Sarang
Pada tahun 1965 beliau mengabdikan diri untuk berkhidmat pada ilmu-ilmu agama. Hal itu diiringi dengan berdirinya Pondok Pesantren yang berada disisi kediaman Beliau. Pesantren yang sekarang dikenal dengan nama Al-Anwar. Satu dari sekian pesantren yang ada di Sarang.
Keharuman nama dan kebesaran Beliau sudah tidak bisa dibatasi lagi dengan peta geografis. Banyak sudah ulama-ulama dan santri yang berhasil “jadi orang” karena ikut di-gulo wentah dalam pesantren Beliau. Sudah terbukti bahwa ilmu-ilmu yang Belaiu miliki tidak cuma membesarkan jiwa Beliau secara pribadi, tapi juga membesarkan setiap santri yang bersungguh-sungguh mengecap tetesan ilmu dari Beliau.
Kemudian sekitar tahun 2008 beliau kembali mengibarkan sayapnya dengan mendirikan Pondok Pesantren Al-Anwar 2 di Gondan Sarang Rembang, yang kemudian oleh beliau dipasrahkan pengasuhannya kepada putranya KH. Ubab Maimun
PP Al-Anwar yang berada di kampung Karangmangu Sarang Rembang Jawa Tengah didirikan oleh KH. Maimun Zubair pada tahun 1967. Pondok ini pada mulanya adalah sebuah kelompok pengajian yang dirintis oleh KH. Ahmad Syuaib dan KH. Zubair Dahlan. Kelompok pengajian tersebut pada awalnya dilaksanakan di mushalla. Pada perkembangan selanjutnya kedua perintis tersebut mendirikan tiga komplek bangunan, yaitu komplek A, B dan C.
Komplek B dikembangkan oleh KH. Abdul Rochim Ahmad menjadi PP Ma’hadul Ulumis Syar’iyah. Sedang komplek A dikembangkan menjadi PP Al-Anwar oleh KH. Maimun Zubair, putra KH. Zubair Dahlan. Latar belakang pendirian pondok di samping untuk melanjutkan kegiatan pengajian, juga dilatarbelakangi oleh keinginan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat sekitar yang umumnya berpenghasilan rendah sebagai nelayan.
Perkembangan jumlah santri PP. Al-Anwar yang cukup pesat, menuntut adanya pembangunan di bidang fisik. Pada tahun 1971 musholla direnovasi dengan menambahkan bangunan diatasnya yang kemudian disebut dengan Khos Darussalam, juga dibangun sebuah kantor yang berada sebelah Selatan ndalem syaikhina. Seiring dengan bertambahnya santri maka pembangunan secara fisik pun terus dilakukan. Tercatat pada tahun 1973 dibangun Khos Darunna’im, tahun 1975 Khos Nurul Huda, tahun 1980 Khos AF, dan masih banyak lagi pembangunan fisik yang yang lain. terakhir dibangunnya gedung serbaguna PP. Al-Anwar berlantai lima pada tahun 2004 dan juga pada tahun 2005 dibangun Ruwaq Daruttauhid PP. Al-Anwar yang setelah selesai pengerjaannya digunakan sebagai tempat pertemuan (Multaqo) alumni Sayyid Muhammad Alawy al Maliki Makkah al Mukarromah.

Tokoh Nasional Tradisional

Mbah Moen, begitu orang biasa memanggilnya, banyak dikenal dan mengenal erat tokoh-tokoh nasional, tapi itu tidak menjadikannya tercerabut dari basis tradisinya semula. Sementara walau sering kali menjadi peraduan bagi keluh kesah masyarakat, tapi semua itu tetap tidak menghalanginya untuk menyelami dunia luar, tepatnya yang tidak berhubungan dengan kebiasaan di pesantren sekalipun.
Beliau juga pernah menjadi anggota DPRD kabupaten Rembang selama 7 tahun. Setelah berakhirnya masa tugas, beliau mulai berkonsentrasi mengurus pondoknya yang baru berdiri selama sekitar 7 atau 8 tahun. Tapi rupanya tenaga dan pikiran beliau masih dibutuhkan oleh negara sehingga beliau diangkat menjadi anggota MPR RI utusan Jateng selama tiga periode. Dalam dunia politik beliau tergolong kiyai yang adem-ayem. Di saat NU sedang ramai mendirikan PKB (1998) mbah Moen lebih memilih diam dan istiqomah di PPP, partai dengan gambar Ka’bah.
Pada tahun 1977, KH. Maimun Zubair mengembangkan pesantren dengan mendirikan PP Putri Al-Anwar. berawal dari sebidang tanah yang dimiliki dan hasil pembelian tanah milik tetangga, beliau termotivasi akan kondisi masyarakat sekitar pada saat itu yang belum rutin mengerjakan sholat 5 waktu serta minimnya kemampuan mereka dalam membaca Al Qur’an. Sebagai langkah awal, lalu dibangunlah sebuah musholla di belakang rumah yang semula berdindingkan anyaman bambu

Mentradisikan Salaf

Sebagai sosok ulama, beliau punya perhatian yang cukup besar terhadap tradisi salaf. Salaf menjadi sebuah prinsip yang harus dipegang teguh, bukan semata nama, sehingga menjadi kebutuhan mendesak untuk kembali menjadikan salaf sebagai prinsip dan gaya hidup.
Dalam sebuah kesempatan di Malaysia, beliau menyampaikan betapa kelestarian tradisi salaf dalam tahap kritis. Beberapa ajaran salaf mulai terlupakan, salah satunya adalah arab pegon. Di tengah masyarakat, arab-pegon mulai ditinggalkan secara perlahan.
Sebagai illustrasi, aksara arab pegon, dulunya, tidak semata sebagai media pembelajaran, tapi menjadi media komunikasi masyarakat. Namun, ironis sekali, akhir-akhir ini, di beberapa pesantren yang semestinya menjadi ikon pelestari tradisi tersebut menemui kendala.
Beliau dalam beberapa kesempatan tak henti-henti memotivasi beberapa pihak untuk senantiasa mentradisikan salaf, termasuk menghidupkan kembali arab-pegon sebagai ikon salaf yang perlu dilestarikan.

Kiainya Para Kiai yang Faqih Jempolan

Di kalangan para ulama Nahdlatul Ulama, Bahtsul Masail Diniyyah (pembahasan masalah-masalah keagamaan) merupakan forum untuk berdiskusi, bermusyawarah, dan memutuskan berbagai masalah keagamaan mutakhir dengan merujuk berbagai dalil yang tercantum dalam kitab-kitab klasik. 
Dalam forum seperti itu, Pondok Pesantren Al-Anwar (di Desa Karangmangu, Sarang, Rembang, Jawa Tengah) sangat disegani. Bukan saja karena ketangguhan para santrinya dalam penguasaan hukum Islam, tapi juga karena sosok kiai pengasuhnya yang termasyhur sebagai faqih jempolan. Kiai yang dimaksud adalah K.H. Maimun Zubair.
Meski sudah sangat sepuh, 78 tahun, alumnus Ma’had Syaikh Yasin Al-Fadani di Makkah itu masih aktif menebar ilmu dan nasihat kepada umat. Di sela-sela kegiatan mengajarkan kitab Ihya Ulumiddin dan kitab-kitab tasawuf lainnya kepada para santri senior setiap ba’da shubuh dan ashar, Mbah Maimoen, demikian ia biasa dipanggil, masih menyempatkan diri menghadiri undangan ceramah dari kampung ke kampung, dari masjid ke masjid, dari pesantren ke pesantren. 
Dalam berbagai ceramahnya, kearifan Mbah Maimoen selalu tampak. Di sela-sela tausiyahnya tentang ibadah dan muamalah, ia tidak pernah lupa menyuntikkan optimisme kepada umat yang tengah dihantam musibah bertubi-tubi.
Ia memang ulama yang sangat disegani di kalangan NU, kalangan pesantren, dan terutama sekali kalangan kaum muslimin di pesisir utara Jawa. Ceramahnya sarat dengan tinjauan sejarah, dan kaya dengan nuansa fiqih, sehingga membuat betah jamaah pengajian untuk berlama-lama menyimaknya. 
Kiai sepuh beranak 15 (tujuh putra, delapan putri) ini memang unik. Tidak seperti kebanyakan kiai, ia juga sering diminta memberi ceramah dan fatwa untuk urusan non pesantren. Rumahnya di tepi jalur Pantura tak pernah sepi dari tokoh-tokoh nasional, terutama dari kalangan NU dan PPP, yang sowan minta fatwa politik, nasihat, atau sekadar silaturahmi. Ia memang salah seorang sesepuh warga nahdliyin yang bernaung di bawah partai berlambang Ka’bah itu.
Belum lagi ribuan santri alumni pondoknya yang secara rutin sowan untuk berbagi cerita mengenai kiprah dakwah masing-masing di kampung halaman. Beberapa di antara mereka berhasil menjadi tokoh di daerah masing-masing, seperti K.H. Habib Abdullah Zaki bin Syaikh Al-Kaff (Bandung), K.H. Abdul Adzim (Sidogiri, Pasuruan), K.H. Hafidz (Mojokerto), K.H. Hamzah Ibrahim, K.H. Khayatul Makki (Mantrianom, Banjarnegara), K.H. Dr. Zuhrul Anam (Leler, Banyumas), KH. Miftahul Falah (Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatul Muta`allimin, Datinawong Babat Lamongan) dan masih banyak lagi.

Pesan Hikmah KH. Maimun Zubair

Taushiyah
Tausiyah ini ditulis kembali oleh Abu Naqie Usamah yang disarikan dari mauidloh hasanah, KH. Maimun Zubair Pengasuh PP. Al Anwar Sarang Rembang pada haul al Habib Abdul Qodir Bil Faqihdan al Habib Abdullah Ibn Abdul Qodir Bil Faqih PP. Darul Hadits Malang. Tausiyah ini bukan murni transkrip lengkap pidato beliau, hanya berdasar pendengaran, maka dalam tausiyah ini ditemui penambahan kata atau kalimat untuk mendukung pembaca memahami tausiyah beliau.
Manusia hidup hanyalah untuk beribadah sebagaimana disampaikan dalam al Quran:
Wamaa Kholaqtul Jinna Wal Insa Illa Li Ya’buduun.
Esensi dari ibadah itu sendiri adalah bagaimana seorang manusia melakukan pendekatan kepada Allah atau dalam bahasa arab disebut taqarrub.

Proses pendekatan diri kepada Allah tidak hanya diwujudkan dengan bentuk ibadah murni seperti wirid, sholatpuasa atau bentuk ibadah murni yang lain. Taqarrub bisa diwujudkan dengan menyesuaikan status sosial masing-masing orang. Kejujuran, keadilan dan kemampuan menghidarkan diri dari berbuat dzalim termasuk korupsi seorang pemimpin, pegawai pemerintah atau anggota DPR juga merupakan bentuk taqarrub.

Pemahaman seperti ini penting sekali disosialisasikan agar tidak ada orang yang setiap hari ibadah murni dijalani, tetapi perilaku kemasyarakatannya tidak sesuai dengan koridor agama. Kemampuan seorang politisi dalam membedakan posisi diri dalam bergaul dengan sesama muslim juga bentuk kemasan taqarrub yang lain. Ketika berada diluar koridor politik, seorang politisi harus mampu membangun ukhuwah Islamiyah dengan sesamanya meski berbeda jalur politiknya dengan dirinya. Seorang politisi PKB harus mampu bergaul erat dengan sesama muslim yang lain dari partai lain baik Golkar, PDIP atau PPP seperti saya ini.

Kemampuan melihat diri inilah yang penting sekali kita tanamkan kepada generasi muda kita agar tidak memandang sesama muslim yang berbeda jalur politiknya seperti orang berbeda agama. Betapa indahnya kehidupan ini bila hal ini bisa kita wujudkan bersama. Bila kita seorang pegawai pemerintahan menemui hadits yang menyatakan:

“Shirooru al ulama, alladzina ya’tuuna al umara wa khiyaaru al umara alladzina ya’tuuna al ulama.”
Seburuk-buruk ulama adalah mereka yang (sibuk) mendatangi pemerintah atau penguasa dan sebaik-baik pemerintah atau penguasa adalah mereka yang mendatangi ulama.

Maka perhatikan kalimat terakhir, jangan membahas bagian awal. Artinya bagian proses pendekatan diri seorang pegawai pemerintahan adalah mendekati ulama, untuk mendapatkan penyegaran diri agar terselamatkan dari tindakan yang tidak terpuji atau keluar dari syariat agama kita. Wal hasil, untuk menjalani salah satu kewajiban kita yaitu mendekat kepada Allah, kita harus faham bahwa jalan menuju ke sana bukan dari satu pintu. Namun hal itu dapat kita aplikasikan dalam bentuk amal perbuatan yang lain menyesuaikan profesi kita masing-masing yang sejalur dengan konteks syariat Islam. Wallahu A’lam Bisshowab.

Ijazah

Mbah Moen memberi Ijazah : Barang siapa membaca istighfar berikut ini :
أستغفر الله العظيم الذي لا إله إلا هو الحي القيوم وأتوب إليه توبة عبد ظالم لا يملك لنفسه نفعا ولا ضرا ولا موتا ولا حياة ولا نشورا 
sebanyak 700x atau 70x atau 7x sebelum khotib naik mimbar pada Jum'at terakhir bulan Rajab, maka akan dimudahkan rizqinya sepanjang tahun.


Dan dalam kitab Kanzun Najah Wassurur Syaikh Ali Al-Ajhuri memberi ijazah : 

Barang siapa membaca dzikir ini :
أحمد رسول الله محمد رسول الله 


sebanyak 35x ketika khotib berada di atas mimbar dalam Jum'at terakhir bulan Rajab, maka tidak akan kehabisan uang sepanjang tahun. (penulis pernah menyaksikan langsung, beliau KH. M. Najih MZ mengamalkannya).



Jika matahari terbit dari timur, maka mataharinya para santri ini terbit dari Sarang.



Sumber Referensi:
Readmore → KH. Maimun Zubair