KH. Masbuhin Faqih




K.H. Masbuhin Faqih, beliau adalah pengasuh Pondok Pesantren Mamba'us Sholihin, Suci, Manyar, Gresik. Beliau dilahirkan di desa Suci, Manyar Kab. Gresik pada tanggal 31 Desember 1947 M atau 18 Shafar 1367 H. Beliau adalah putra dari pasangan Al-Maghfurlah KH. Abdullah Faqih dan Hj. Tsuwaibah. Beliau adalah putra pertama dari 5 bersaudara, 3 orang putra dan 2 orang putri. Beliau memiliki silsilah yang mulia dan agung, yakni sampai ke kanjeng Sunan Giri. Kalau ditelusuri, maka beliau adalah keturunan ke-12 dari kanjeng Sunan Giri ibnu Syaikh Maulana Ishaq.


Adapun silsilah beliau adalah sebagai berikut:
1. Syeikh Ainul Yaqin (Sunan Giri)
 
2. Sunan Dalem
 
3. Sunan Prapen
 
4. Kawis Goa
5. Pangeran Giri
6. Gusti Mukmin
7. Amirus Sholih
8. Abdul Hamid
9. Embah Taqrib
10. KH. Muhammad Thoyyib
11. KH. Abdullah Faqih
12. KH. Masbuhin Faqih


Dengan silsilah yang agung tersebut, tak bisa dipungkiri di dalam diri beliau terdapat ruh dan jiwa seorang ulama sekaligus seorang pemimpin yang tangguh dan berjuang tanpa pamrih seperti para pendahulunya. Hal ini sesuai dengan Qiyasan santri: 
“Bapaknya Singa maka anak-anaknya pun menjadi singa”.
Pendidikan beliau sejak kecil di lingkungan yang islami. Mulai dari tingkat MI sampai MTs. Setelah tamat Tsanawiyah beliau melanjutkan studinya ke Pondok Pesantren Darussalam Gontor, Ponorogo, JawaTimur. Disanalah beliau memperdalam ilmu bahasa Arab dan bahasa Inggris. Setelah lulus dari Pondok Pesantren Gontor beliau ingin memperdalam ilmu lagi, selanjutnya beliau nyantri di PP. Langitan Widang Tuban, yang pada saat itu diasuh oleh KH.Abdul Hadi Zahid dan KH. Abdullah Faqih. Di sana beliau memperdalam ilmu kitab kuning, mulai dari Fiqh, Nahwu, Shorof, tauhid, sampai tasawwuf. Proses penggembalaan ilmu di PP. Langitan cukup lama, sekitar 17 tahun belaiu nyantri di sana.


Diceritakan bahwasannya sosok Masbuhin Faqih muda adalah pemuda yang giat dan tekun belajar, suka bekerja keras, dan optimis dalam suatu keadaan apapun. Waktu di PP. Langitan beliau banyak melakukan tirakat, seperti memasak sendiri, istiqomah melakukan ibadah puasa sunnah dan lain-lain. Di sana belaiu juga sempat menjadi khadam (pembantu dalem) kyai. Hal ini sampai menjadi jargon beliau dalam menasehati santri MBS (Mamba’us Sholihin), yakni:
“nek mondok ojo belajar tok, tapi nyambio ngabdi nang pondok iku”. 
Dengan penuh keikhlasan dan kesabaran, beliau menjalani semua kehidupan tersebut demi mendapatkan ilmu yang manfaat dan barakah. Ditengah-tengah menimba ilmu di Langitan, tepatnya pada tahun 1976 M atau pada saat beliau berumur 29 th, KH. Abdullah Faqih langitan menyuruh beliau untuk berjuang di tengah masyarakat desa Suci bersama-sama dengan abahnya. KH. Abdullah Faqih langitan sudah yakin bahwasannya santrinya ini sudah cukup ilmunya untuk berdakwah dan mengajar di masyarakat.


Waktu demi waktu berlalu, proses berda’wah terus berjalan dan berkembang pesat. Dengan perkembangan itu KH. Abdullah Faqih (ayah beliau) disuruh untuk membuat pesantren oleh beberapa guru beliau agar proses berdakwah tersebut lancar. Bersama-sama dengan Anak-anaknya mereka mendirikan suatu pondok yang diberi nama PP. At-Thohiriyyah, yang  mana dengan filosofi berada di desa Suci (kata thohir dalam bahasa arab berarti suci). KH. Masbuhin Faqih pada waktu itu masih pulang pergi dari langitan ke Suci. Beliau masih beranggapan bahwa menimba ilmu di Langitan belum sempurna kalau tidak dengan waktu yang lama. Inilah salah satu kelebihan beliau, yakni haus akan ilmu pengetahuan agama Islam.


Tepat pada tahun 1980 M, beliau sudah mendapat restu untuk meninggalkan pondok pesantren Langitan. Dengan modal restu itulah beliau bisa lebih berkonsentrasi dalam mengurus PP. At-Thohiriyyah bersama dengan abahnya. Tepat pada tahun ini juga PP. At-Thohiriyyah dirubah menjadi PP. Mamba’us Sholihin, keadaan ini sesuai dengan usulan KH. Usman Al-Ishaqi. Karena nama suatu pondok dirasa mempunyai arti dan harapan yang penting.


Perjuangan KH. Masbuhin Faqih dalam memajukan pesantren penuh dengan dedikasi tinggi dan tanpa kenal lelah. Setahap demi setahap pembangunan pondok dilakukan, mulai dari komplek pondok sampai sekolahan. Dengan relasi yang cukup banyak, beliau mampu membuat MBS (singkatan dari Mamba’us Sholihin) lebih maju baik itu gedungnya maupun kualitaspendidikannya melalui sumber daya manusia di dalamnya.


Tepat pada tahun 1997 M, suasana duka menyelimuti pondok pesantren dan masyarakat desa Suci. Abah beliau (KH. Abdullah Faqih) wafat pada usia 77 tahun. Dengan keadaan itulah, beliau harus mengurus MBS menggantikan abahnya. Dengan kegigihan dan perjuangan keras dalam berdakwah menyebarkan agama Islam, KH. Masbuhin menjadi ulama’ yang terkenal dan disegani, tidak hanya di Indonesia saja tapi sampai ke luar negeri khususnya di negeri Hadramaut Yaman. Beliau sangat mencintai dan mengagungkan para
 dzurriyyah Rasulullah SAW (haba'ib). Hal inilah yang menjadikan beliau terkenal di negara tersebut. Dengan sifat tersebut pula, apabila ada habaib dari yaman yang datang ke Indonesia, maka beliau meminta agar bisa menyempatkan mampir ke pondok Mamba’usSholihin walaupun sebentar.


Selain berdakwah melalui ta'lim di pesantren, beliau juga sedikit berkecimpung dalam dunia politik. Hal ini tidak lain karena peran ulama begitu besar di mata masyarakat. Tepat sebelum pemilu raya
tahun 2009, para ulama’ Indonesia bersatu untuk membuat partai, hal ini dilakukan demi persatuan dan perkembangan bangsa Indonesia yang agamis dan syar’i, maka lahirlah PKNU (Partai Kebangkitan Nasional Ulama’).


Dalam partai inilah beliau ikut andil dalam percaturan politik. Hal ini tidak lain karena peran ulama’ begitu besar di mata masyarakat. Dalam mengikuti arus politik beliau sering jadi panutan dan sumber nasehat oleh para pejabat baik itu tingkat daerah maupun nasional.



Adapun dalam mengarungi bahtera kehidupan rumah tangga, beliau didampingi seorang isteri sholihah yang ta’at dan setia, yakni Nyai Hj. Mas’aini. Kehidupan keluarga syaikhuna mempunyai sejarah yang luar biasa, yang mana keduanya walaupun sudah menikah dan mempunyai anak, tapi mereka tetap saja masih nyantri di pondok Langitan dalam rangka tafaqquh fiddiin. Dari pernikahan tersebut, beliau dikaruniai oleh Allah SWT 12 anak, 9 putra dan 3 putri.
Readmore → KH. Masbuhin Faqih

Disgrafia itu Keberuntunganku

Pelajaran sudah berjalan empat bulan. Teman-teman sekelas telah mahir menulis. Yusuf, teman sebangku denganku, bahkan telah mampu menulis sampai beberapa halaman buku full. Dia memang sudah bisa menulis sejak taman kanak-kanak. Tapi aku? Hingga kini aku masih belum mampu menulis. Aku sulit sekali mengeja kempulan huruf-huruf atau kata dan kalimat. Dalam menulis aku seringkali mengurangi susunan hurufnya seperti halnya menulis bekerja biasanya ditulis dengan bekeja, mencerminkan dialog. Susah sekali.
Bukan itu saja. Saat aku membuka buku dan berusaha membaca kata demi kata, huruf-huruf kulihat menari-nari. Mereka mengajakku berdansa, menghilangkan kepedihan yang bergelayut di kepala. Membawaku ke alam bebas, di mana burung-burung terbang melayang-layang, di mana air sungai mengalir gemericik, di mana angin bertiup spoi, dan induk burung emprit memberi makan anak-anaknya yang mulutnya terbuka lebar. Mereka juga membawaku terbang ke planet Mars, Saturnus, Uranus hingga Pluto.

Aku merasa nyaman dan tertawa. Tapi guru yang melihatku merasa heran.
Ayo, Mim! Ini tulisannya apa?” seru Bu Siti sambil mengerutkan kening.
Aku tidak bisa menjawab. Mulutku seperti terkunci.
Dan kejadian itu tidak sekali-dua kali. Melainkan berkali-kali. Hingga Bu Siti telah sampai di ujung kesabaran. Aku dihukum berdiri di depan kelas, Aku tidak tahu apa yang terjadi pada diriku. Aku tidak tahu kelainan apa yang kuderita. Di setiap pelajaran yang selalu berupa penulisan huruf-huruf dan kata-kata aku merasa letih. Pelajaran selalu membosankan. Saat pelajaran aku lebih senang melihat keluar dari balik jendela. Dalam bingkai jendela itu aku bisa melihat dunia yang hidup. Angin kurasakan bergerak. Daun-daun pepohonan bergoyang-goyang. Awan putih dengan latar langit biru berarak-arakan. Dan burung-burung mungil meloncat dari dahan ke dahan, berkicau bersaut-sautan. Dunia benar-benar terasa hidup.
Bagi guru, aku ini mungkin dianggap sebagai anak nakal yang bodoh dan sama sekali tidak memperdulikan pelajaran. Bayangkan, saat guru menerangkan dengan sekuat tenaga dan membimbing kami mengeja, dan menyusun tulisan jadi kata dan kalimat, aku malah asyik melihat pemandangan yang berbingkai jendela itu. Aku asyik bermain-main, tertawa, bersama burung-burung camar yang berteriak-teriak di angkasa. Aku tak punya sayap, tapi dengan melihat jendela, aku bisa terbang bersama awan putih, merasai belainan angin yang begitu lembut, dan menukik laksana elang menangkap buruan. Aku tak tahu, aku ini apa, dan mengapa.
Suatu hari orang tuaku dipanggil ke sekolah. Aku menguping pembicaraan Ibu dan Bu Siti untuk tahu apa sebenarnya yang terjadi padaku.
Maaf, Bu!  Sepertinya Hamim mengalami keterbelakangan mental,” kata Bu Siti.
Ibu hanya diam. Ia nampak tidak bisa menerima kenyataan ini. Sepertinya tidak mungkin. Ibu normal. Ayah juga normal.Lalu aku mengalami keterbelakangan mental? , apa benar dan mengapa ya?
“Ya, Bu Siti,” kata ibuku lirih. “Lalu, apa saran Bu Siti?
Bu Siti menarik nafas panjang dan melepaskannya dengan berat. “Saran saya, Hamim dipindahkan ke Sekolah Luar Biasa (Sekolah Inklusi) saja!
Ibu terdiam cukup lama saat itu. Kenyataan yang didengarnya dari guru kelasku itu sungguh memukull hatinya. Lalu suara Bu Siti seolah menimbulkan gaung di ruang hatinya. Cukup lama gaung itu terjadi.
Ibu keluar dari Ruang Bimbingan dan Konseling (BP) dengan lunglai. Andai aku bisa menghiburnya, aku akan menghiburnya untuk menghembus kabut kedukaan yang menyelimutinya.
Ibu tentu masih belum membicarakan masalahku ini pada Ayah sebab Ayah masih di luar kota mengurus bisnis dan kerjaannya. Mungkin Ayah datang tiga hari lagi. Jeda tiga hari ini merupakan kesempatan bagiku untuk tetap bisa berada di sekolah seperti biasanya sebelum nanti aku dipindah ke Sekolah Inklusi. 
*********
“Bapak penggantinya Bu Siti yang sedang cuti hamil. Nama Bapak Ubaid. Biar terdengar keren, panggill saja Pak Ubaid!” kata seorang guru baru ketika mengenalkan diri.
Pak ubaid sangat humoris. Selama mengajar, beliau menyelingi humor-humor segar yang membuat kami tertawa. Pembelajaran terasa cair, menyenangkan. Kami belajar sambil menyanyi, menari dan membebaskan imajinasi untuk memilih-milih asa. Bukan itu saja, Pak Ubaid kadang juga mengajak kamii ke luar kelas. Duduk-duduk di atas rerumputan di lapangan sekolah sambil bercerita, belajar di taman sekolah sambil menghirup udara yang segar di bawah garis-garis sinar mentari. Sungguh, belajar terasa penuh dengan keceriaan.
Sehari setelah Ayah pulang dari luar kota, Pak Ubaid berkunjung ke rumah. Aku ada di kamar waktu itu. namun aku masih bisa mendengar pembicaraan mereka, meski sayup-sayup.
“Pak. Bu. Hamim tidak mengalami keterbelakangan. Ia hanya kesulitan dalam mengenali ejaan dan susunan kata dan kalimat pak. Makanya, hingga sekarang ini dia masih susah menulis. Dalam psikologi ini dinamakan Disgrafia,” kata Pak Ubaid menjelaskan.
Pak Ubaid lalu menunjukkan buku-bukuku. “Ini tulisan Hamim. Saat menulis kata “kerja”, ia menulis “kerjah”. Saat mau menulis “susah”, ia menulis “susa”. Lalu lihat yang ini. Ia menulis kata dengan cara yang mencerminkan kesalahan ucap, pembalikan huruf dlam kata, pembalikan suku kata, konsonan maupun vokal. Dan sebagainya,” lanjutnya.
Ayah-Ibu hanya diam dan mendengarkan penjelasan Pak Ubaid dengan seksama. 
“Dengan melihat tulisan-tulisan ini, saya sudah menyimpulkan bahwa Hamim mengalami disgrafia, bukan keterbelakanganmental. Untuk membuktikan bahwa Hamim tidak mengalami keterbelakangan seperti yang dikira selama ini, saya memberikan Tes Matrix kepadanya. Tes Matrix adalah tes kecerdasan yang tidak tergantung pada kemampuan mengenal huruf dan angka. Jadi meski yang dites belum bisa membaca, tes tetap valid. Hasilnya, sungguh sangat mencengangkan. Hamim mendapat skor maksimal. Disimpulkan bahwa ia sangat cerdas, dan tidak mengalami keterbelakangan mental. Berarti apa yang dia alami adalah disgrafia,” tegas Pak Ubaid.
Mendengar apa yang dikatakan Pak Ubaid dari kamar, aku merasa lega.Hening sesaat.
“Terus, apa yang harus kami lakukan?” tanya Ibu.
“Kemarin malam, kami merencanakan akan memindahkan Hamim ke Sekolah Inklusi,” ujar Ayah menimpali. 
“Kita semua harus membantunya menulis. Menurut saya, tidak usah dipindahkan ke Sekolah Inklusi. Saya akan membantunya menulis dengan banyak variasi. Bapak-Ibu mohon mendampingi dan membimbing Hamim menulis tulisan-tulisan sederhana. tulisan yang disertai gambar-gambar. Dengan latihan secara terus menerus, kesulitanya akan teratasi,” ujar Pak Ubaid membesarkan hatiayah dan Ibu.
********
Aku sangat kagum pada Pak Ubaid. Di sekolah beliau membantuku mengenali huruf-huruf dan angka-angka dengan penuh keikhlasan. Aku bisa melihat keikhlasan itu dari matanya. Pak Ubaid pun mengajariku latihan gerakan menulis, memegang pensil dengan cara yang benar, , menjiplak tulisan,  menggambar diantara dua garis, mengajariku membuat dua jenis huruf huruf yang utuh dan huruf yang terbuat dari titik-titik.  menuliskan huruf-huruf berukuran kecil dan besar, mengajari membedakan huruf besar dan kecil ditingkatkan dengan menuliskan kata-kata dan selanjutnya kalimat
“Coba susun huruf-huruf ini sehingga terbaca  “ini ibu memasak ubi!” pinta Pak ubaid kepadaku.
Aku pun mencari-cari huruf dan menyusunnya sehingga membentuk kata. Tentu dengan bantuannya.
Lalu Pak Ubaid menyusun huruf-huruf membentuk sebuah tulisan. “Coba, ini bacaannya apa?!”
bui itu di buat ibu,” jawabku.
Nah...Bagus,” ujar Pak Ubaid.
Aku menjalankan perintah Pak Ubaid dengan senang hati. Dalam waktu singkat kemampuan menulisku banyak mengalami peningkatan, meski tak semahir teman-temanku sekelas.
Kemampuanku menulis ternyata berimbas juga pada kemampuanku di bidang membaca. Bakatku di bidang membaca berkembang pesat dengan telah terbukanya penghalangku selama ini. Dengan melihat saja, aku kian hari kian gemar membaca,jika ada tulisan-tulisan di manaapun beradaa aku lebih senang membacanya , meski dengan terbata juga, kala itu aku melihat buku di meja yang bertuliskan puisi, ku ambillah buku itu , dan aku membacanya, dengan bergaya melambaikan tangan dan meski dengan nada terbata-bata. Namun anehnya pak Ubaid yang tak sengajaa mengamatiku dari luar ruang ia merasas simpai dan mendengarkan apa yang aku baca, dari puisi itu, beberapa menit setelah aku selesai membaca satu lembar buku puisi itu, spontan pak ubaid berkata “ wah bagus juga sekarang kamu sudah bisa baca puisi segala, wah tadi bagus lho gaya kamu membacakan puisi itu.
Itulah sebabnya, meski aku tak selancar teman-temanku dalam membaca, aku selalu mendapat tugas membaca puisi. Pak Ubaid bangga melihatku mengalami perkembangan yang pesat. Lebih bangga lagi melihatku kini lebih percaya diri dan tak lagi bersembunyi di sudut kelas di bawah jendela.
“Kamu ikut lomba baca puisi, ya, Mim...?!” pinta Pak Ubaid.
Di kelas, aku memang terbilang paling gemar membaca puisi sekarang ini. Tapi apakah aku cukup layak ikut lomba baca puisi
“Saya, kan, masih kelas III, Pak Ubaid. Lomba baca puisi itu untuk kelas V ke atas, kan?” kataku menjawb perintah Pak Ubaid.
“Ya. Memang untuk kelas V ke atas. Tapi kamu boleh juga mencobanya. Santai saja! Setidaknya untuk pengenalan,” kata Pak Ubaid, guruku yang masih muda itu.
“Apa saya bisa, ya? Saya kan, masih ngawaur dan asal baca saja puisi itu di kelas, Pak,? kataku ragu.
“Oh, lomba baca puisi itu mengandalkan gaya dan intonasi pembacaanya kok. Tidak terlalu membutuhkan menuliskannya. Kamu bisa saja membaca dengan cara kamu sendiri,” jelas Pak Ubaid.
Lalu Pak ubaid menyodorkan lembar-lembar contoh puisi. Aku membaca lembar demi lembar puisi sambil menggerak-gerakkan bibirku. Aku bergaya melambai-lambaikan tangan dan mengeraskan juga mengecilkan pelafalan kata.
Pak Ubaid melihat apa yang kulakukan sekaligus membimbingku pun akhirnya berkata, “Excelent!
*********
Hari minggu. Beberapa anak duduk-duduk di taman di depan kelas sambil memegang buku yang terbuka. Dari depan terlihat gambar seperti lukisan orang sedang melambaikan tangan di sampul buku itu:. Aku ikut juga duduk-duduk di taman, tapi tidak membawa buku. 
“Anak-anak yang ikut lomba baca puisi, silakan masuk ke kelas!” kata Pak Ali, guru kelas V.
Anak-anak berlari ke kelas dengan semangat. Sedangkan aku berjalan dengan gontai. Pak Ubaid menghampiriku. “Ayo, semangat! Kamu pasti bisa!”
Setelah semua peserta masuk kelas, Pak Ali tampil ke depan kelas. Lomba baca puisi ini dilaksanakan sekaligus sebagai seleksi untuk menentukan wakil sekolah kita dalam ajang lomba baca puisi SD tingkat kabupaten. Nanti akan diambil 5 juara, juara I, II, III, harapan I, dan harapan II. Kelima juara ini nanti akan dibimbing secara intensif untuk mengkuti lomba di tingkat kabupaten.”
Aku mencoba membaca puisi dengan lepas. Tanpa beban. Ketika huruf terlihat menari-nari saat kueja, aku tersenyum. Dengan tertatih-tatih kubaca tiap bait dan syair puisi, lalu ku bergaya dengan melambaikan tangan, berdiri, jongkok, menunduk, berbaring  dan sebagainya.
Hasilnya, aku masuk 10 besar pada tahap I sehingga bisa mengikuti tahap II. 
Usai menyelesaikan baca puisi pada tahap II, kami pulang. Pengumuman tentang juara-juaranya akan diumumkan besok pada hari senin saat upacara bendera.
*********
Inilah saat-saat yang mendebarkan. Pak Ali mengumumkan para juara di akhir upacara bendera.  “Juara I diraih oleh Marsha Aprilia Kusumawardani. Juara II: Adhelia Aurellia Putri. Juara III diraih oleh Hamim. Juara Harapan I: Nur Qumaida, dan Juara Harapan II: Dzulfikar Saputra. Nama-nama yang saya sebutkan tadi harap maju ke depan untuk memperoleh piala penghargaan,” kata Pak Ali.
Anak-anak yang namanya dipanggil berlari ke depan barisan, kecuali aku. Pak Ubaid yang berada di barisan para guru menengok ke arah barisan kelas III. Pandangan mata beliau mencari-cari di mana aku berada. Saat Pak Ubaid menemukanku, beliau memberi melambaikan tangan kepadaku agar tampil ke depan. Aku berjalan dengan ragu. Aku ragu kalau ini nyata dan bukan mimpi. Meski aku hanya memperoleh juara III, aku merasa ini sebagai sebuah keajaiban. Di antara para juara, hanya aku yang dari kelas III, anak yang selama ini dianggap bodoh dan terbelakang.
Aku memegang piala dengan tangan bergetar-getar dan jantungku berdetak-detak, tubuhku serasa merinding. Seusai barisan dibubarkan aku menemui Pak Ubaid dan mengucapkan terimakasih atas semuanya. Pak Ubaid telah menemukanku dan mengentasku dari kolam lumpur nan pekat.aku teringat dengan kata-kata beliau dalam menasehatiku beberapa waktu yang lalu;
There is a will there is a way, and All Is Well.
Disitu ada kemauan disitu akan ada jalan , dan semuanya akan baik-baik saja. 


Readmore → Disgrafia itu Keberuntunganku

Aku Rindu Auramu

Pada bumi yang pernah kaki berpijak, kala ku tengok kediamanmu
Di tepian bengawan solo tepatnya
Membentang tanah berbangun
Gedung sederhana jua rumah kayu, sederhana

Tak seorangpun dapat perlakuan beda,
Kala bertamu sowan kesana
Berpijak disana orang berbusana putih
Terpernjat nuraniku, kala petuah hikmah terujar

Lantunan syair kehidupan, menerpa bagai butir salju dari lazuardi
Putih bening nan terasa sejuk
Bergerombol membukit,memuncak mengkristal
Bagai mutiara bercahya,

Salju yang warnanya putih, selalu mencair kala diterpa panas
Putih, lalu dinginnya terasa, mendinginkan akar nadi menembus dahan nurani
Kala kupandang, mereka
Aku selalu merindu akan terpanya

Aku ingin memapah lara, kala kemarau tiba
Agar ku tak lagi terpanggang, terbakar
Agar tubuhku tak lagi gersang dan hangus
Agar malam tak lagi kelam, bungkam

Ah entah, mungkin aku menduga
Jadi sungguh takaut, kini aku...
Mungkinkah karna musim yang masih kemarau
Butir salju itu kini jarang menerpa

Sungguh ku ingin bermusim-musim singgah disana
Agarku tersejukkan butir-butir salju sejukmu
Agarku terpantuli kilauan cahya mutiaramu
Jadi  lentera malam-malamku




Kolong Langit Surabaya, 09:09. 29 Oktober 2013 
Readmore → Aku Rindu Auramu

Kecerdikan Orang Kecil


Abu Nawas diminta memberikan ceramah di hadapan pembesar negeri. Semua sudah tahu bahwa para pembesar negeri tersebut suka memras rakyat kecil dengan berbagai sumbangan wajib dan upeti-upeti terselubung. Yaitu jika rakyat memerlukan wewenang mereka untuk menyelesaikan suatu urusan.
Dalam ceramahnya, Abu Nawas lantas bercerita:
“Pada suatu ketika beberapa negara mengadakan pertandingan. Yang ikut bertanding adalah wakil-wakil dari negara Hitam, Putih, Bule, Kuning, dan juga negara kita. Pertandingannya sendiri sebenarnya tidak istimewa. Hanya memeras handuk basah. Siapa yang berhasil mengocorkan air paling banyak dari handuk yang hampir kering itu, dialah yang menang.
“Majulah orang Hitam yang terkenal kuat-kuat. Ia mengangkat handuk itu, lalu memerasnya sekuat tenaga. Namun, hasilnya Cuma beberapa tetes air.
“Sekarang giliran orang Putih yang termahsyur kesaktiannya. Ternyata air yang keluar dari handuk itu juga hanya sedikit.
“Orang Bule yang tersohor sombong pun demikian pula kesudahannya. Walaupun ia sudah berkutat sampai berkeringat, handuk itu Cuma mengeluarkan beberapa titik air.
“Tibalah saatnya orang Kuning yang bangsanya menguasai dua pertiga dunia dengan kecerdikan dan kekuatannya. Memang, orang kuning boleh saja merajalela di jalan-jalan, di pasar-pasar, dan di istana orang-orang berpangkat. Namun, ketika ia memeras handuk yang setengah kering itu, air yang mengucur juga tidak banyak. Hanya beberapa ciprat saja.
“Maka majulah wakil negara kita. Orangnya kecil, kerempeng dan pucat pasi, hingga para wakil negara lainnya mencibirkan bibir. Mana mungkin orang sekurus itu dapat menandingi mereka?
“Tetapi, sungguh mencengangkan. Walaupun ketika mengangkat handuk itu wakil negara kita tersebut sudah keberatan, pada waktu memerasnya air yang keluar banyak sekali, sampai timbul banjir dimana-mana.
“Dengan takjub lawan-lawannya bertanya serempak, ‘Sangat mengherankan. Bagaimanakah Tuan yang kecil dan kurus dapat memeras handuk itu sampai airnya melimpah ruah?”
“Sambil membusungkan dada, wakil negara kita itu lantas menjawab, ‘Wahai Tuan-tuan. Tentu saja tak kan bisa menandingi saya dalam pertandingan memeras handuk ini. Sebab di negeri saya, soal peras-memeras memang merupakan kebiasaan sehari-hari, di mana-mana.’”
Mendengar ceramah Abu Nawas tersebut para pembesar negeri yang sering melakukan pemerasan itu tertunduk. Mereka merasa malu dan berjanji tak kan mengulangi perbuatan buruk itu lagi.
Itulah sekelumit kecerdikan orang kecil yang tidak punya banyak ilmu, harta, maupun kekuasaan. Otaknya bisa berputar lancar dalam keadaan terpaksa untuk mencari keselamatn dan jalan keluar.
Sama seperti yang dialami oleh seorang jemaah haji dari Sunda di Tanah Suci Makkah. Ia tersesat ketika hendak tawaf mengelilingi Ka’bah. Ia telah mencari-cari, di manakah Masjidil Haram, mau bertanya-tanya ia hanya bisa berbahasa Sunda. Padahal dari tadi tidak dijumpainya orang sekampung.
Alangkah gembiranya orang Sunda itu ketika bertemu dengan jemaah lain yang kulitnya sama. Disangkanya orang itu berasal sedaerah dengannya. Maka dengan bahasa Sunda yang lancer ia bertanya:
“Punten. Palih mana nu bade ka Masjidil Haram?” Maksudnya menanyakan arah menuju Masjidil Haram.
Tahu-tahu jamaah yang ditanya bukan orang Sunda. Kulitnya sama, tetapi bahasanya berbeda. Sebab ia orang Jawa totok yang hanya mengerti bahasa Jawa. Karena itu orang tersebut menggeleng seraya menjawab, “Lhah. Boten ngertos.” Artinya, tidak mengerti apa yang ditanyakan.
Tetapi orang Sunda itu tidak kehabisan akal. Ia berpikir, orang Jawa itu toh biasa bersembahyang, dan pasti mengerti bahasa Jawanya surah Al-Fatihah, sebab surah itu wajib dibaca dalam sembahyang.
Ia pun lantas berkata, “Punten. Ihdina Masjidil Haram.” (Ihdina adalah salah satu kalimat dalam Al-Fatihah yang maknanya berilah kami petunjuk.”
Betul juga. Orang Jawa itu paham maksudnya. Maka sambil tertawa orang itu menjawab. ”Shirathal mustaqim.” (Ini juga terdapat dalam Al-Fatihah yang bahasa kitanya berarti jalan lurus.)
Orang Sunda itu dengan suka cita mengucapkan terima kasih, lalu berjalan lurus ke depan. Beberapa langkah di muka ia agak kebingungan. Yang lurus jalannya kecil, sedangkan yang lebar jalannya ke sebelah kiri. Jadi ia menempuh jalan yang agak ke kiri itu karena lebih lebar.
Dari kejauhan orang Jawa tadi berteriak, “Waladl dlallin. Mustaqim. Jangan tersesat. Lurus saja.”

Dengan peringatan terakhir itu, orang Sunda tersebut berhasil mencapai tempat yang dituju, Masjidil Haram, yang tengahnya terdapat Ka’bah, tempat ia akan melakukan tawaf tujuh kali putar.
Readmore → Kecerdikan Orang Kecil