Pengertian Self Efficacy
Bandura (1986) mendefinisikan self efficacy sebagai penilaian seseorang akan kemampuannya untuk mengorganisasikan dan melaksanakan serangkaian perilaku yang dibutuhkan untuk mencapai tipe-tipe performansi yang telah direncanakan. Pengertian lain dari self efficacy adalah kepercayaan individu akan kemampuan dirinya untuk menghadapi suatu hambatan. Self efficacy adalah keyakinan individu akan kemampuannya melakukan suatu tugas dengan berhasil pada tingkat tertentu atau keyakinan individu bahwa ia mampu melakukan suatu tindakan yang diperlukan untuk mencapai suatu tujuan tertentu dengan berhasil. Self efficacymenentukan jenis perilaku pengatasan, berapa lama individu mampu berhadapan dengan hambatan-hambatan yang tidak diinginkan dan berapa besar usaha yang dilakukan individu untuk mengatasi persoalan atau menyelesaikan suatu tugas (Bandura, 1986). Self efficacy meliputi kepercayaan diri, kemampuan menyesuaikan diri, kapasitas kognitif, kecerdasan dan kapasitas bertindak pada situasi yang penuh tekanan.
Sumber Pembentukan Harga Diri
Ada empat aspek menurut Coopersmith (1967) yang menjadi sumber pembentukan harga diri seseorang. Empat hal tersebut adalah :
a. Keberartian (significant)
Keberartian individu nampak dari adanya penerimaan, penghargaan, perhatian dan kasih sayang dari orang lain. Penerimaan dan perhatian biasanya ditujukan dengan adanya penerimaan dari lingkungannya, ketenaran dan dukungan keluarga. Semakin banyak ekspresi kasih sayang yang diterima individu, individu akan semakin berarti. Tetapi apabila individu tidak atau jarang memperoleh stimulus positif dari orang lain, maka kemungkinan besar individu akan merasa ditolak dan mengisolasikan diri dari pergaulan.
b. Kekuatan (power)
Kemampuan untuk mempengaruhi dan mengontrol diri sendiri serta orang lain. Pada situasi tertentu kebutuhan ini ditunjukkan dengan adanya penghargaan, penghormatan dari orang lain. Pengaruh dan wibawa juga merupakan hal-hal yang menunjukkan adanya aspek ini pada seorang individu. Dari pihak individu, seseorang yang mempunyai kemampuan seperti ini biasanya akan menunjukkan sifat-sifat asertif dan explanatory actionsyang tinggi.
c. Kompetensi (competence)
Merupakan performance atau penampilan yang prima dalam upaya meraih kesuksesan dan keberhasilan. Dalam hal ini penampilan yang prima ditunjukkan dengan adanya skill atau kemampuan yang merata untuk semua usia. Dengan adanya kemampuan yang cukup, individu akan merasa yakin untuk mencapai apa yang dicita-citakan. Individu dengan kompetensi yang bagus akan merasa setiap orang memberi dukungan padanya. Individu akan merasa mampu mengatasi setiap masalah yang dihadapinya serta mampu menghadapi lingkungannya.
d. Kebajikan (virtue)
Adanya kesesuaian diri dengan moral dan standar etik yang berlaku di lingkungan. Kesesuaian diri dengan moral dan standar etik diadaptasi individu dari nilai-nilai yang ditanamkan oleh para orang tua. Permasalahan nilai ini pada dasarnya berkisar pada persoalan benar dan salah. Bahasan tentang kebajikan juga tidak akan lepas dari segala macam pembicaraan mengenai peraturan dan norma di dalam masyarakat, juga hal-hal yang berkaitan dengan nilai-nilai kemanusiaan, serta ketaatan dalam beragama.
Pengertian Prestasi Belajar
Prestasi adalah sebuah hasil yang dicapai dari proses aktivitas yang berlangsung secara baik, dan prestasi belajar berarti sebuah hasil yang memuaskan dari proses belajar yang baik (Winkel, 1983). Menurut Purwanto (2003), prestasi merupakan penilaian terhadap sesuatu yang digunakan untuk menilai hasil-hasil pengajaran yang diberikan guru pada siswanya dalam waktu tertentu.
Belajar menurut Whittaker (dalam Djamarah, 2002) sebagai proses tingkah laku yang ditimbulkan atau diubah melalui latihan atau pengalaman. Cronbach (dalam Djamarah, 2002) juga berpendapat belajar sebagai suatu aktivitas yang ditunjukkan oleh perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman.
Belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya (Slameto, 2003). Sedangkan menurut Djamarah (2008), belajar adalah serangkaian kegiatan jiwa raga untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman individu dalam interaksi dengan lingkungannya yang menyangkut kognitif, afektif, dan psikomotor.
Belajar adalah kegiatan yang berproses dan merupakan unsur yang sangat fundamental dalam setiap penyelenggaraan jenis dan jenjang pendidikan. Ini berarti bahwa berhasil atau gagalnya pencapaian tujuan pendidikan itu amat bergantung pada proses belajar yang dialami siswa, baik ketika ia berada di sekolah maupun di lingkungan rumah atau keluarganya sendiri (Syah, 2010). Menurut Syah (2009), belajar dapaat dipahami sebagai tahapan perubahan seluruh tingkah laku individu yang relatif menetap sebagai hasil pengalaman dan interaksi dengan lingkungan yang melibatkan proses kognitif.
Azwar (1996) berpendapat bahwa prestasi atau keberhasilan belajar pada proses belajar di sekolah dapat dioperasionalisasikan dalam bentuk indikator-indikator berupa nilai raport, indeks prestasi studi, angka kelulusan, predikat keberhasilan dan semacamnya. Menurut Hidayati (1997), tujuan belajar adalah untuk mencapai hasil belajar yang baik. Hasil belajar tersebut merupakan hasil suatu proses belajar seseorang yang berupa pengertian-pengertian baru, kecakapan maupun kematangan dalam bersikap dan bertindak yang dapat diukur dengan alat yaitu tes. Hasil pengukuran dengan tes ini dapat mencerminkan kemampuan yang disebut dengan istilah prestasi belajar.
Dalam bidang pendidikan prestasi akademik merupakan hasil dari berbagai faktor antara lain faktor kemampuan dasar dan bakat yang dimiliki serta fasilitas yang memadaai. Kegagalan dalam prestasi akademik bisa disebabkan karena kemampuan dasarnya tidak menyokong atau bakatnya kurang menunjang, atau kurangnya fasilitas yang memungkinkan mengaktualisasikan kemampuan dasar dan bakat khusus yang sebenarnya dimiliki (Gunarsa dan Gunarsa, 2008).
Jenis Adversity Quotient (AQ)
Stoltz (2001) mengibaratkan manusia yang menghadapi masalah dalam kehidupannya sebagai seseorang yang menempuh perjalanan menuju puncak gunung. Oleh karena itu, Stoltz membaginya menjadi tiga tipe, yakni :
a. Tipe Quitters, yakni tipe orang yang mudah menyerah dalam menghadapi kesulitan dan beban hidup yg dilaluinya. Orang dengan tipe demikian akan selalu melihat kesulitan di balik peluang-peluang yang ada sehingga akan mudah putus asa. Orang yang memiliki tipikal ini tidak mau menghadapi, cenderung mengabaikan bahkan akan lari dari masalah yang ada. Karyawan dengan tipe ini akan menghindari permasalahan yang terjadi diorganisasi karena merasa beban yang dirasakan terlalu berat. Akibatnya, berbagai permasalahan psikologis seringkali mengjangkiti karyawan tipe ini sehingga menurunkan produktivitas kerjanya.
b. Tipe Campers, yakni orang dengan tipe yang sudah berusaha menghadapi persoalan dan permasalahan yang ada, namun karena permasalahan itu selalu menerjang, orang tersebut merasa “perjalanannya cukup sampai di sini”. Karyawan dengan tipe ini bersedia menghadapi permasalahan yang terjadi dalam organisasi. Namun, karena permasalahan yang ditimbulkan tidak kunjung selesai, karyawan lebih memilih berdiam diri dan menerima kondisi yang ada sebagai konsekuensi dari kondisi organisasi. Karyawan dengan tipe ini mungkin menemukan kepuasan, namun potensi yang dimiliki tidak sepenuhnya keluar kaena memutuskan berhenti sebelum permasalahan benar-benar teratasi.
c. Tipe Climbers, yakni orang yang selalu berjuang menghadapi permasalahan yang ada meskipun masalah itu selalu muncul dan menerjang. Orang tersebut tidak akan berhenti untuk mencapai puncak meskipun harus melewati terjalnya pegunungan ataupun badai di tengah perjalanan. Karyawan dengan tipe climbers akan selalu berusaha melewati masalah yang terjadi apalagi masalah yang terjadi dalam organisasi merupakan permasalahan jangka panjang. Karyawan seperti ini tidak akan lari dari permasalan yang ada meskipun masalahnya membuat kondisi psikologisnya sangat terbebani. Karyawan akan segera beradaptasi dengan kondisi menekan tersebut kemudian memikirkan alternatif solusi pemecahan permasalahan organisasi. Hambatan dan keterbatasan dijadikan kesempatan untuk mengaktualisasikan potensi sehingga produktivitas kerjanya semakin maksimal.
Pendidikan; Aspek Prestasi Belajar
Menurut Gagne (Seifert, 2008), ada lima aspek prestasi belajar, yaitu:
a. Kecakapan intelektual
Kecakapan intelektual meliputi diskriminasi, konsep dan aturan. Bentuk kecakapan intelektual yang paling konkrit adalah diskriminasi
1) Diskriminasi, yaitu kecakapan untuk membedakan objek dari ciri-ciri nyata objek tersebut atau menyadari perbedaab dari dua buah objek.
2) Kecakapan konsep terdiri dari pengelompokkan mental terhadap objek atau peristiwa yang saling berhubungan satu sama lain.
3) Kecakapan aturan, yaiu mengaplikasikan sejumlah hubungan diantara sejumlah konsep mnjadi sebuah contoh yang khusus.
b. Strategi kognitif
Strategi kognitif ialah menemukan metode untuk membuat proses berpikir dan belajar menjadi lebih efektif. Misalnya, menggunakan cara yang paling efisien dalam mengingat nama-nama.
c. Kecakapan verbal
Kecakapan verbal yaitu kemampuan untuk menyatakan label, fakta atau makna esensial dari pengetahuan verbal. Misalnya, mengutip nama-nama negara Eropa atau menyatakan esensi dari sebuah alamat.
d. Kecakapan motorik
Kecakapan motorik yakni memperlihatkan sebuah tindakan menurut standar-standar kesempurnaan. Misalnya berenang, menulis.
e. Kecakapan sikap
Kecakapan sikap ialah memilih untuk bertindak dengan satu cara ketimbang cara lain atau memilih sebuah rangkaian kegiatan tertentu. Misalnya memilih untuk mengerjakan Pekerjaan Rumah ketimbang pergi nonton ke bioskop
No comments:
Post a Comment