Menghilangkan Aku Menghadirkan Tuhan

Dalam kehidupan modern, sering dibedakan antara kebenaran Tuhan dengan kebenaran manusia. Sehingga teologi harus diturunkan pada level kemanusiaan (antropomorfisme). Ketuhanan baru berarti, jika mampu menyelesaikan dan berangkat dari paradigma kemanusiaan. Sampai-sampai sekularisme mensyaratkan “hilangnya Tuhan” demi kemajuan dunia.
Kita tentu bertanya, bagaimana bisa ciptaan terbebas dari pencipta? Bisa kata Newton, sebab alam seperti jam yang memiliki mesin sendiri. Jadi, setelah Tuhan mencipta “jam” itu, maka Dia dianggap nganggur. Manusia dengan akalnya telah mampu melihat dan bahkan menguasai mesin (hukum alam) yang membuat jam berdetak. Maka dimana lagi tersedia ruang bagi Tuhan?
Adalah Muhammad Bagir MA, dosen filsafat dan tasawuf pada Islamic College for Advanced Studies (ICAS) Jakarta, yang menjadi salah satu garda depan, dari pihak yang mengritik paradigma ini. Melalui filsafat perenial, sebuah disiplin keilmuan yang menggabungkan antara rasionalitas filosofis dengan dimensi irfani dari tasawuf, ia mencoba mengklarifikasi salah paham akal modern, yang menciptakan degradasi makna berpikir, dari intelek (akal batin), kepada reason (rasio). Baginya, pemisahan antara akal dan jiwa inilah yang membuat manusia modern, menjadi tuhan-tuhan kecil diatas bumi, yang sayangnya tak mampu melepaskan diri dari jerat samsara (kesengsaraan), akibat kedunguan spiritualitas, dan arogansi egoisme. Meminjam Lukacs, manusia modern tengah mengalami transcendental homelessness : hilangnya hubungan harmonis dan keterkaitan batiniyah dengan dunia. Orang tidak lagi menemukan makna dan tujuan hidup, justru ketika berbagai alat kemanusiaan telah dikuasai. Berikut ini wawancara Cahaya Sufi dengan dosen kelahiran Singapuradan lulusan Universitas Qum Teheran tersebut.

Menurut Mas Bagir, bagaimana tasawuf bisa menjelaskan, bahwa ketika berada di jalan Tuhan, maka kita bisa menyelesaikan masalah dunia (kemanusiaan)?
Kita lihat dalam Kristen dulu ya. Dalam Kristen, the word (kalimat) itu mendaging, meat, flesh. Antropomorfisme. Maknanya, Tuhan turun dalam form manusia. Ketika Tuhan turun dalam form manusia, sepertinya Tuhan merasakan kesengsaraan manusia. Dia mau menunjukkan, bahwa Aku dalam form manusia bisa menyelamatkan kalian dari kesengsaraan. Tuhan berkata, bahwa ketika manusia terhubung dengan Aku, mereka bisa selamat, salvation. Sementara dalam Islam kan teo-morfisme, bukan antropomorfisme. Tuhan tidak “mendaging” dalam manusia, tetapi manusia melangit. Jadi teo-morfisme merupakan tajalli Tuhan. Perbedaannya ada tapi tidak mencari mana yang benar mana yang salah. Disini manusia jadi tajalli-nya Tuhan. Berarti manusia jadi refleksi. Dan ketika manusia menjadi tajalli Tuhan, dirinya sendiri sudah tidak ada lagi. Jadi dalam Islam, manusia bisa menghilangkan individualisme untuk mencapai pada the divine (ketuhanan).
Apa kaitannya dengan individualisme?
Semua suffering, masalah dunia di hidup kita kan karena individualitas kita. Karena kita mengakui “aku”, dalam Buddhism kan gitu juga. Kalau aku-nya hilang, ya nggak akan ada masalah. Misalnya kalau kita bawa dalam preposisi: ada subjek ada predikat. Predikat bisa gembira, sedih, aku sedih, aku gembira, aku stress. Coba kalau subjek (aku)-nya hilang, nggak ada apa-apa lagi kan? Kita boleh saja sedih, sakit, tetapi karena “aku” tak ada, maka tak ada yang merasakan segala kesakitan itu.

Nah disini bedanya ilmu akhlak dan metafisik. Misalnya, akhlak takabur. Dalam ilmu akhlak dijelaskan, definisi takabur itu apa, efek yang akan merusak jiwa kita gimana? Jadi kita harus gantikan pada predikat yang positif. Disini ilmu akhlak lebih konsentrasi pada predikat. Tapi selagi ada subjek, tetap ada predikat kan? Sementara irfan dan tasawuf konsentrasi pada subjek. Hilangkan subjek dong. Ketika subjek hilang, Subjek dengan “S” besar muncul. Aku (Ana) yang besar, maka predikat-predikatnya muncul kan, Asmaul husna. Itu namanya tajalli. Dengan cara itu manusia selamat dari segala kesengsaraan dalam kehidupan individualisnya.

Bagaimana cara untuk menghilangkan “aku”?
Harus ada ilmu. Ilmu yang selama ini kita pelajari ada dua macam. Ada accumulatif knowledge, ada yang annihilatif knowledge. Accumulatif itu kan akumulasi. Kita semakin banyak mencari ilmu. Ketika terjadi akumulasi, maka harus ada subjek, dan subjek ini mengakumulasi knowledge. Aku ‘alim, aku mengetahui, aku lebih pintar. Tetapi annihilation, nihilasi (fana’), ilmu yang menghilangkan subjek. Misalnya, laa ilaahaillallah, tiada Tuhan selain Allah. Kenapa? Karena Dia mutlak. Sesuatu yang mutlak, jelas tidak terbatas. Sesuatu yang tidak terbatas, tidak mengizinkan dua realitas. Ketika dia terbatas, pasti ada yang lain. Jadi konsep tauhid juga berkata seperti itu. Tidak ada realitas, selain Dia menghilang semuanya. Kalau hilang subjek ya sudah. Kita akan melihat seluruh alam ini dengan kaca mata Dia, bukan kaca mata individualis lagi. Jadi kalau ada masalah, kita kan sering lari darinya, dan masuk masalah lain. Yang harus kita lakukan seharusnya beyond, melampaui. Apa yang bisa bawa kita keluar dari masalah.

Karena masyarakat modern kan, kalau ingin menyelesaikan masalah ekonomi ya dengan ekonomi, politik dengan politik, dsb. Nah kalau pendekatan spiritual, misalnya kalau kita menghadapi masalah politik, yang kita lakukan adalah “penghancuran kedalam” ya?
Ya, karena kalau sudah hancur aku-nya, yang muncul kan tajalli-nya Allah. Contoh, Banyak teman-teman yang tanya sama saya, “Saya takut mau suluk”. Kenapa? “Kalau saya suluk, mungkin saya akan tinggalkan dunia ini”. Seorang istri akan bimbang kalau suaminya tinggalkan dia, tidak perdulikan nafkah, anak-anak.

Seolah-olah Tuhan itu di barat, dan dunia di timur ya. Kalau ke barat ya harus ninggalin timur?

Makanya saya terus bilang, “Bu, kalau orang suluk, dia akan hilang egonya, individualnya, ananiyah-nya. Yang akan tajalli itu Tuhan. Ketika Tuhan tajalli, Tuhan al-’alim, Tuhan al-raziq, Tuhan arrahman. Lalu ibu akan berinteraksi dengan siapa? Jadi suami ibu nggak ada, yang ada hanya Yang Pengasih dan Penyayang. Pasti dia al-raziq. Ketika dia kerja, kasih uang, dia sebagai al-raziq, bukan sebagai manusia yang memberi nafkah pada isteri. Nah banyak orang melupakan hal ini. Ketika manusia menyatu dengan Tuhan, orang pikir kalau kita mau suluk, kita akan tinggalkan semuanya. Padahal dalam al-Qur’an Allah itu kan wahuwa ma’akum, Dia bersama dengan kalian, ainamaa kuntum, dimana saja kalian berada. Jadi kalau kita menjadi manifestasi Tuhan, kita bukan hanya dengan keluarga, kita bersama dengan semua manusia, pohon, alam, dsb. Contoh. Nabi Muhammad SAW. sampai sekarang hadir bersama kita. Nabi Muhammad saw. bukan keberadaan temporal. Sampai sekarang ia bersama kita. Assalamu’alaika ayyuhan Nabi. Jadi bukan terputus dari kehidupan, justru semakin terkait dengan kehidupan.

Nah, ada juga problem Mas. Masyarakat kan sering memisahkan akal dengan hati. Artinya, mungkin bisa dijelaskan perbedaan fungsional antara reason (rasio) dengan intelek (qalbu)?
Kalau reason, kan berada di wilayah ilmu hushuli, konseptual. Padahal ilmu konseptual sebenarnya produksi manusia sendiri. Tapi kalau intelek itu ilmu hudhuri, dimana subjek dan objek tidak terpisah. Antara yang mengetahui dan yang diketahui tidak pernah terpisah. Dia menyatu. Seperti, saya sadar dengan diri saya sendiri. Aku tahu aku. Aku subjek, aku juga objek kan. Demikian juga, aku lapar. Lapar itu satu objek pengetahuan, kita tahu. Subjek ilmu, saya kan. Tapi lapar bukan berada diluar saya, tetapi didalam diri saya sendiri. Bukan identitas saya juga, tetapi sebagian dari aspek saya.

Kalau Maulana Rumi menceritakan perbedaan itu. Diceritakan ada kompetisi melukis, menggambar taman bunga. Satu group minta kanvas, kuas, dan cat yang paling bagus. Sementara group lain hanya minta cermin. Setelah jadi dilihat, oh ini lukisannya bagus, lukisan di kanvas, persis seperti taman, tapi cuma satu dimensi saja. Sementara cermin kan refleksi, oh ini persis sekali. Nah, kalau filsuf itu melukis realitas, dengan konsep, ide dan pemahamannya. Kalau seorang ‘arif, realitas dimasukkan dalam hatinya, cermin itu qalbu-nya. Realitasnya ada didalam cermin, jadi tidak terpisah dari dia. Makanya dalam hadist, “Bumi tidak bisa menempatkan Aku, langit juga tidak bisa, kecuali qalbu mu’min”. Nah dimana kita menempatkan Tuhan yang tidak terbatas? Dengan merefleksikan Dia tentunya.

Cermin itu didalam manusia?

Qalbu itu cermin. Allah ada disitu. Qalbu kan divine, bukan human. Gimana qalbu bisa menempatkan Tuhan yang tidak terbatas, kecuali kalau qalbu itu sendiri adalah Tuhan. Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu, maksudnya ya Tuhan yang mengenal diri-Nya sendiri. Nggak mungkin manusia kenal Tuhan. Jadi Tuhan itu mengenal diri-Nya sendiri.
Intelek seperti itu. Kalau ilmu hushuli kan konsep, melukis realitas. Kalau ilmu hudhuri, kita masukkan realitas dalam hati. Kalau kita melihat politik dengan kaca mata Tuhan gimana? Nabi melihat politik dengan kaca mata Tuhan gimana? Jadi Nabi setiap ada permasalahan selalu bertanya kepada Allah, itu bahasa teologisnya. Tetapi sebenarnya, Aku adalah Dia. Jadi bukan politik humanis lagi, tapi politik divine. Disini filsafat perennial, tasawuf, atau irfan, mau menghidupkan divinity (ketuhanan) dalam diri manusia. Ketika Tuhan hadir, kan alaa bi dzikrillahi tathmainnul qulub. Salah satu nama Tuhanpun al-Mu’min, Yang Memberi Keamanan. Jadi ketika Dia hadir, Dia akan memberi keamanan pada semunya. Kan ada hadist, al-mu’min miratul mu’min (mukmin adalah cermin bagi mukmin). Disini yang bercermin bukan antara dua manusia mukmin, tetapi antara mukmin manusia dengan al-Mukmin (Tuhan).

Di Paramadina saya pernah ditanya, “Tuhan dengan manusia kan beda?” Saya jelaskan, dalam al-Qur’an ada ayat tentang Nabi Muhammad, innama ana basyarun mistlukum (Sesungguhnya aku adalah manusia seperti kalian). Saya bertanya pada Bapak itu, “Pak, disini jelas bahwa Muhammad itu seperti manusia, seperti kalian, mistlukum. Seperti, jadi sebenarnya bukan persis manusia. Lalu kalau begitu, Muhammad itu apa?”
Maksudnya?

Tuhan mau menyelamatkan manusia di bumi ini. Tetapi kalau Tuhan menurunkan manusia, sama kan, kualitas, karakter. Jadi nggak bakal selamat. Maka yang harus membimbing manusia itu harus Aku, kata Tuhan. Makanya Aku akan jadikan manusia, khalifah:
cermin Aku sendiri. Jadi Tuhan, mau membimbing manusia tanpa meninggalkan langit, caranya bagaimana? Bahasa simbolisnya kan. Kalau Tuhan turun, langit kosong dong. Kan di al-Qur’an, fi al-samaai Ilaahun fi al-ardli Ilaahun (di langit Tuhan, di bumi Tuhan). Satu cara untuk Tuhan turun ke bumi, tanpa meninggalkan langit itu, taruh cermin dibawah, namanya khalifatullah. Dia sendiri yang datang. Al-Haadi, Yang Memberi Petunjuk.

Cara atau metodologi dalam kedua ilmu yang berbeda itu seperti apa Mas? Al-Ghazali berkata, bahwa pencarian kebenaran tidak hanya melalui rasio, tetapi juga eksperimental ruhaniyah. Apakah seperti itu?

Mereka yang belum menyadari kehadiran intelek, paling tidak memiliki panca indera, dan rasio. Indera kita gunakan untuk melihat, afalaa tadabbarun, kamu lihat langit dan bumi, dan kamu kontemplasi. Rasio untuk berpikir. Sementara proses pemikiran kan berada dibawah bimbingan wahyu, dari Dia juga. Jadi tidak terputus dari Tuhan. Nah kita gunakan semua ini, untuk diarahkan pada kesadaranintelektus tadi. Ada beberapa langkah yang harus kita lakukan.
Pertama, kita harus menempatkan diri kita dalam ruang agama. Tidak mungkin diluar agama. Sekarang di Barat ada yang nggak pakai agama, spiritual universal. Kata mereka, kalau sudah terikat oleh agama, maka tidak universal lagi. Padahal kalau kita terikat pada satu agama, kita makin universal. Karena tidak mungkin ada universal tanpa partikular. Contoh. Orang bilang kalau sudah ada batin, nggak butuh dhahir lagi. Bisa nggak saya bilang, saya kenal atas, tapi bawah saya nggak tahu? Nggak bisa kan. Kenal atas karena kenal bawah. Dhahir itu ada, karena ada batin kan, demikian sebaliknya. Nah, dalam agama ada jalan esoteris, jalan yang menghubungan manusia dengan al-Haq. Manusia harus ikut jalan itu. Itu syarat yang berada diluar diri manusia.
Kedua, cara yang ada dalam diri manusia. Yakni himmah (aspirasi yang tinggi). Kata Syeh Ahmad Mustafa al-Alawy, dalam buku Sufi Abad ke-20 (Mizan), syarat minimal jika manusia ingin menuju Tuhan adalah himmah, aspirasi yang tinggi untuk mendekatkan diri pada-Nya. Misal, dalam satu tempat yang gelap, maka satu lubang cahaya yang dikit saja, itu sudah cukup. Kalau nggak ada lubang, semua tertutup, kita nggak bisa melampaui ruang yang gelap.

Kata Hadist Qudsy, “Jika hamba-Ku mendekati-Ku sejengkal, maka Aku akan mendekatinya sehasta”.

Ya. Ketika ada aspirasi baru ada respon, Jadi adzkuruunii adzkurukum, jika kau mengingat Aku, maka Aku pun mengingatmu. Setelah himmah, maka harus ada iman. Iman kepada agama. Agama terbentuk dari wahyu, dan wahyu sebenarnya manifestasi dari Dia, jadi iman kepada Dia sebenarnya. Ini yang subjektif, himmah dan iman. Sementara yang objektif tadi, agama dan jalan dalam agama. Seorang sufiberkata, “Dari Tuhan kepada manusia ada jalannya. Tapi dari manusia ke Tuhan, nggak ada jalannya”. Jadi kalau ada orang tenggelam, yang melempar tali itu siapa? Orang yang dikapal atau yang tenggelam? Jadi jalan dari kapal ke laut ada, tapi kalau sebaliknya tidak ada. Oleh karena itu syariat dari Tuhan, bukan manusia yang membuat syariat. Jalan thariqah pun harus dari Tuhan. Karena kita kan berada di luar, mau kedalam. Apa kita buat jalan sendiri? Nggak mungkin. Itu yang saya maksudkan, agama harus ada “jalan kedalam”, dari batin agama itu sendiri.

No comments:

Post a Comment